Halo! Malam ini WM Entertainment akan mengumumkan juara WM Fanfiction Festival yang digelar beberapa hari yang lalu dalam rangka memperingati satu tahunnya WM Entertainment. Yuk, mari dibaca ff Different Things karya @hxtstuff yang berhasil menjadi juara pertama!~ Selamat! :)
***
“Different
Things”
[Romance, Drama, Friendship, Life,
Angst]
Cast:
Jack LeeasAhn Jooyoung : Pria 24
tahun, penerus Hanshin Hospital, sifatnya yang sombong dan menganggap semuanya
mudah, banyak wanita yang mengincar dirinya karena uang.
Jo KyungsooasHan Minseok: Pria 24
tahun, dokter ahli bedah di Hanshin Hospital, hangat, orang kaya yang serba
berkecukupan namun selalu rendah hati dan berpenampilan sederhana.
Nam RisaeasKang Nami: Gadis 23
tahun, sederhana, bekerja di sebuah cafe demi menghidupi dirinya dan membiayai
sekolah adiknya karena mereka sudah tidak memiliki orangtua.
Jo KyungriasKang Nara : Gadis 18
tahun, sekolah di SOPA karena kepintarannya; bukan karena memiliki uang yang
banyak, ceria dan mudah didekati, pacar Hansung, adiknya Nami.
Aiken ParkasGo Hansung : Pria 20
tahun, kuliah di Yonyi University, memiliki masa lalu yang kelam dengan Minseok,
pacar Nara.
Cameo:
Han YeojinasLee Yeojin: Kakak tiri
dari Jooyoung yang diusir dari rumah ayah Jooyoung karena suatu hal, pemilik
bar&cafe yang dibangun bersama suaminya Park Yoojung.
Bilhuda Kim asPark Yoojung: Suami
Yeojin, keras kepala dan pemarah.
Boo HyongranasPark Iljung: Adik
Yoojung, memiliki sifat berbanding terbalik dengan kakaknya, selalu melindungi
Nami dari amarah Yoojung.
Yoo Hanna asYoo Mina: Senior
tercantik yang disukai hampir satu kampus Yonyi, tipenya adalah Go Hansung.
Jeon YoonwooasKim Shinwoo: Sahabat
Nara dan Hyeri, satu sekolah dengan Nara di SOPA.
Emily parkasNam Hyerin : Sahabat
Nara dan Shinwoo, satu sekolah dengan Nara di SOPA.
Shon JooyoungasLee Kyuyoung : Sahabat
Han Minseok yang selalu mendukung apa keputusannya, menyukai Ahyoung diam-diam.
Irene Kim asJung Eunbi: Gadis
pendiam, memiliki dua kepribadian (sisi baik dan buruk), pekerja magang jurusan
Kedokteran sebagai asisten Minseok di Hanshin Hospital, menyukai Minseok
diam-diam sehingga tidak menyukai siapapun yang mendekati Minseok.
Lee Ryumi asAhn Ahyoung: Adik dari
Jooyoung, sifatnya penggoda, banyak pria yang didekati namun tetap setia
mengejar Han Minseok, membenci seluruh wanita yang mendekati kakaknya hanya
karena uang.
PROLOG
Orang bilang, sesuatu terjadi
karena keajaiban. Mungkin pepatah itu tidak seluruhnya benar. Terkadang sesuatu
itu terjadi karena usaha yang dilakukan, seberapa besar pengorbanan untuk
mencapai tujuan itu. Pengorbanan itulah yang akan menjadi hadiah terindah
melebihi apapun. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah keajaiban
seringkali membawa keberuntungan, bahkan menyatukan sebuah perbedaan yang
terbilang mustahil untuk disatukan.
Satu hal yang harus diyakini.
Hukum alam itu nyata, seberapapun besarnya usaha yang dilakukan, hukum alam
tetap akan berlaku sampai kapanpun.
***
“Kau itu bodoh, untuk apa permainan jelek
seperti itu?
“Tidak ada yang menyukaimu!”
“Pulang saja lah, kau tidak dibutuhkan di
sini! Dasar sok pintar!”
“Apa kau lihat-lihat? Kerjakan saja urusanmu
sendiri!”
“Yaa! Hansung-ah! Minta maaf lah pada Minseok
hyung! Karena ini semua salahmu!”
“Minseok-ah, kau yang terbaik. Aku rasa
ayahmu akan bangga padamu sekarang.”
“Minseok oppa~ Minseok oppa~ Mau makan siang
bersama?”
“Minseok-ssi, selamat ya! Kau mendapat
peringkat tertinggi di kelas.”
NGIIIING.“Argh—“
“Hansung oppa? Gwaenchana? Ada
apa? Apa oppa sedang sakit?”
Hansung masih saja memegangi
kepalanya yang berdenyut, ‘Kenangan itu..
Kenapa selalu muncul di saat seperti ini..?’
“A-aniya, aku tidak apa-apa.
Sebentar lagi juga sembuh, hanya pusing sedikit.” Hansung tersenyum, kemudian
mengusak kepala sang gadis dengan gemas. Hansung menautkan jemarinya pada Nara;
sudah hampir satu tahun mereka menjalani hidup sebagai sepasang kekasih.
“Arra~ Kajja, kita sudah
terlambat!” Nara tersenyum lebar seperti biasanya, mengajak Hansung untuk
mempercepat langkahnya masuk ke dalam bus.
Usia yang terpaut tiga tahun dan
tujuan perjalanan yang setiap harinya berbeda tidak menghalangi kisah cinta
mereka berdua. Ya, begitulah hubungan. Tergantung bagaimana dua insan tersebut
membuatnya semakin erat.
**
PYAAARR!
“Maafkan aku, aku tidak sengaja.
Sungguh, maafkan aku Tuan.”
Seorang gadis berperawakan sedang
tengah membungkuk berkali-kali pada salah satu pengunjung cafe, ia tidak
sengaja menumpahkanair kopi ke seorang pria berjas putih. Untung saja pecahan
cangkirnya tidak mengenai siapapun. Gadis tersebut terus saja berusaha
membersihkan noda hitam kecoklatanyang sangat terlihat dengan beberapa helai
tisu.
“Ya! Apa kau tidak melihat ada
orang sedang duduk di meja ini? Haish— pelayan macam apa kau? Kenapa
bisa-bisanya diterima di cafe seperti ini?!”
Mendengar
teriakan dari sang pria, seseorang yang tak lain adalah pemilik cafe
menghampiri dan mengklarifikasi apa yang terjadi.
“A-Ahn Jooyoung? Apa yang terja—“
Ucapannya terhenti begitu melihat kecerobohan yang dilakukan Nami. “Nami-ah,
apa yang kau lakukan? Kenapa ceroboh sekali?! Cepat bersihkan ini dan pergi ke
dapur!”
“N-nde..” Sahut Nami yang langsung
melakukan apa yang diperintahkan Park Yoojung; pemilik cafe yang menurutnya
sangat galak untuk ukuran pria seusianya.
“Sudahlah, aku bisa kembali ke
kantor dan menggantinya. Aku harap lain kali, pelayan amatir ini tidak
mengulangi kesalahannya lagi. Lagipula kau bisa mempekerjakan orang lain yang
lebih baik dari dia.”
Nami menggigit bibir bawahnya,
sedikit mendongak melihat tatapan dingin milik pria yang sudah menjatuhkan
harga dirinya itu. Kembali ia menundukkan pandangannya, sedetik kemudian ia
berdiri membawa pecahan-pecahan kaca yang sudah ia kumpulkan dan pergi menuju dapur
meninggalkan dua pria tersebut dengan napas memburu; kesal.
Seringai samar muncul di wajah
dingin Ahn Jooyoung, setelahnya ia pun ikut pergi meninggalkan cafe tempat
kakak tirinya bekerja; yang merupakan istri dari Park Yoojung.
“Lima.. Empat.. Tiga.. Dua..”
“YA! KANG NAMI!” Pekik Yoojung
sambil melangkah lebar menuju dapur tempat Nami berada.
“Yeobo, tidak usah berlebihan.
Nami sudah meminta maaf pada Jooyoung ‘kan? Jangan memperpanjang masalah dengan
berteriak seperti itu, tidak enak dengan pelanggan kita. Haish—“ Ujar sang
istri yang sedaritadi hanya bersembunyi di balik dinding.
“Tidak usah ikut campur! Aku akan
memberi hadiah untuknya!”
“N-nde, maafkan aku. Tadi itu
tidak sengaja, ada seseorang yang sengaja membuatku jatuh.” Sahut Nami meluruskan,
tentu saja karena ia ingin membela dirinya sendiri.
“Mwo? Siapa? Siapa yang membuatmu
terjatuh? Hahaha, berusaha mencari alasan? Ini sudah kedua kalinya kau membuat
keributan dengan pelanggan. Dan kami sudah cukup bersabar!”
“A-aku mohon beri aku kesempatan,
aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh-“
“Ya- hyung, sudahlah. Dia sudah
berjanji tidak akan mengulanginya, lagipula hyung juga sudah berjanji akan
mempekerjakan dia selamanya kan? Itu yang hyung katakan pada ibunya dulu kan?”
Iljung berdiri di sebelah Nami, merangkul Nami dengan mudahnya. Memang adik
Yoojung yang satu itu selalu membela Nami, bahkan selalu melindungi Nami dari
amarah kakaknya.
“Baiklah baiklah, kau harusnya
bersyukur aku sedang dalam mood baik hari ini. Kalau begitu kembali bekerja.
Cepatlah, pengunjung semakin banyak.”
Nami membungkuk dan meminta maaf
untuk yang ke sekian kalinya, ke arah Yeojin maupun suaminya. Termasuk Iljung
yang ada di sebelahnya. “Kamsahamnida..” Ya, hanya kata itu yang daoat
diucapkan oleh Nami.
‘Pelayan amatir? Dia pikir dia siapa? Tuhan? Seenaknya saja merendahkan
orang lain.’ Batinnya berbicara. Tentu saja kalimat yang pria itu ucapkan
sudah sangat menyakitkan hatinya, Nami sangat berharap tidak akan bertemu
dengan pria itu lagi. Dimanapun dan kapanpun.
**
“Jooyoung oppa? Ada apa dengan
jasmu? Kenapa kotor begitu?”
“Pertanyaan bodoh macam apa, hah?”
Seringaian di wajahnya mengakhiri pertanyaan retorisnya pada sang adik.
“Ya— adikmu ini kan hanya
bertanya. Bagaimana mau punya pacar kalau dingin begitu?”
Jooyoung
meraih jas lain miliknya yang tergantung di tempat biasa, “Apa urusanmu? Aku
bukan Ahyoung yang bisa dengan mudahnya memiliki pacar, apalagi memainkan pacar
sendiri.”
Gadis bernama Ahn Ahyoung itu
berdecak kesal, memutar kursi yang disinggahinya lalu dengan cepat berdiri
menghampiri Jooyoung; menendang tulang kering milik sang pria dengan santainya.
DUG!
“Heish— sudahlah aku ingin pergi
saja. Lebih baik mengajak bicara pria tampan di ruangan sebelah daripada
berbicara denganmu!”
Jooyoung yang masih meringis
kesakitan memilih untuk diam dan membiarkan sang adik pergi dari hadapannya;
Jooyoung bukan tipe orang yang suka berdebat, asal kalian tahu.
**
Ahyoung melangkahkan kakinya
menuju ruangan seorang dokter ahli bedah yang sudah menjadi incaran utamanya
sejak lama; Han Minseok.
“Eunbi-ya, bisa tolong ambilkan
map itu? Apa kau sudah mendata ada berapa pasien yang seminggu ini aku
tangani?”
Suara berat milik sang dokter
membuat gadis yang menjabat sebagai asistennya itu tersenyum samar, “Ah nde,
aku sudah mendata semuanya. Apa ada yang bisa aku bantu lagi?”
‘Jung Eunbi, yaa! Perhatikan jarakmu dengan dokter Han!’Ahyoung
membatin. Bukannya masuk ke dalam, Ahyoung malah mengintip dan menguping
pembicaraan antara Han Minseok dan Jung Eunbi yang merupakan asisten dokter.
“Tidak ada, kembalilah bekerja.
Aku akan kembali sepuluh menit lagi.” Ujar Minseok dengan senyum ramah di
wajahnya yang dapat membuat siapapun bahagia jika salah mengartikannya;
termasuk asistennya sendiri.
Tangan besar milik Minseok
terulur; bergerak memutar knop pintu, pintu pun terbuka dan—
BRUK!
“A-ah, dokter Han. M-mau kemana?
Sedang sibuk?” Ahyoung buru-buru kembali pada posisinya; salah tingkah.
Sementara Eunbi menatap sinis Ahyoung, Ahyoung pun menyadari hal itu namun ia
mengabaikannya.
“Oh? Kau— Ahyoung-ssi? Mau menemui
pasienku. Jika ada sesuatu, biarkan Eunbi membantumu nde? Aku pergi dulu,
annyeong..”
Ahyoung terbelalak kaget, dengan
cepat ia menyusul Minseok yang mulai berjalan melewati lorong. “A-ah anu,
dokter Han! Aku ingin konsultasi tentang keadaanku, bisakah?”
Minseok menghentikan langkahnya,
“Nanti? Sepuluh menit, aku akan kembali. Kau bisa tunggu di ruanganku, nde?”
Ujarnya lembut, sebelah tangannya terulur di lengan Ahyoung. Lagi-lagi membuat
Ahyoung salah mengartikannya.
‘Apa dia mulai menyukaiku?’ Dengan perasaan berbunga-bunga, Ahyoung
mengangguk dan berlari kecil menuju ruangan Minseok.
Baiklah, bisa ditebak apa yang
terjadi selanjutnya di dalam ruangan itu. Adu mulut pun terjadi, Ahyoung dan
Eunbi; sama-sama berusaha menyingkirkan satu sama lain, siapa yang bertahan
ialah pemenang hati Han Minseok.
**
Lain tempat, lain suasana.
Universitas Yonyi selalu ramai seperti biasa. Go Hansung pun sudah terbiasa
dengan hal itu, termasuk dengan kelakuan salah satu senior jurusan Seni yang
terus mendekatinya tanpa rasa malu sedikitpun.
“Go Hansung~”
‘Ada apa dengannya? Aku ini madu baginya atau apa, heish—‘
Yang dipanggil hanya diam tak
berkutik, menoleh pun rasanya tidak ingin. Sejujurnya ia tidak suka menjadi
pusat perhatian. Apalagi di tempat ini banyak sekali mahasiswa yang pacaran.
“Hansung-ah~”
“Ah, nde sunbaenim.” Hansung
tersenyum tipis, masih terus melahap kimbap segitiga yang akhir-akhir ini
menjadi teman makan siangnya.
“Kau hanya memakan kimbap itu
untuk makan siangmu? Ah jinjja— aku kan bisa mengajakmu makan siang bersama tadi,
bahkan aku bisa mentraktirmu makanan yang lebih enak daripada kimbap segitiga
yang ada di tanganmu itu.”
‘Pergilah Yoo Mina, aku ingin makan siang dengan tenang. Jebal.’
“Apa kau ingin aku pergi?” Mina
merengut, mendudukkan diri di sebelah Hansung dengan tatapan sedihnya.
“A-ani sunbaenim, aku yang akan
pergi setelah menghabiskan makananku ini.”
“Mwo? Oh ayolah, kelas masih lama
bukan? Dan sepertinya setelah ini kita ada di dalam satu kelas yang sama.
Bukankah begitu?”
“UHUK! UHUK! Aku rasa- UHUK- iya-
UHUK!”
“Astaga— kau baik-baik saja
Hansung-ah? Minum ini, cepat. Kalau tidak kau bisa tersedak lagi.”
“Aniya, a-aku ke kelas duluan nde
sunbaenim. Ada tugas yang harus aku selesaikan. UHUK!” Hansung buru-buru
bangkit dari duduknya, membawa sisa kimbapnya dan berlari secepat kilat menuju
toilet; sepertinya ia ingin muntah sekarang. Bukan karena seniornya, tapi
karena kimbap yang tersangkut di kerongkongannya.
...
“Heish, sunbae gila. Bagaimana
bisa dia mengikutiku terus seperti itu? Mau sampai kapan, astaga. UHUK UHUK!”
Cling. Layar ponsel menyala,
menampilkan popup pesan dari sang kekasih; Kang Nara.
“Oh? Pulang cepat? Traktir?”
Maniknya berbinar saat membaca rentetan kalimat yang ditujukan padanya. “Aku
rasa aku bisa membolos sekali, lagipula absenku masih full jadi tidak masalah!”
**
“Nara-ya, dimana pacarmu itu?
Kenapa lama sekali, eh? Aku sudah sangat lapar, lihat- kau dengar suaranya?”
TUK! Kepalan tangan Hyerin
mendarat di atas kepala Shinwoo, “Yaa! Sabarlah sedikit, jangan berisik.”
Nara hanya bisa terkekeh melihat
kelakuan dua sahabatnya; Kim Shinwoo dan Nam Hyerin. Memang mereka tidak dapat
dipisahkan. Hari ini mereka akan pesta daging di salah satu cafe yang berada
dekat dengan Hanshin Hospital.
“Omo— itu dia pacarmu Nara-ya.”
“Nde.” Sahutnya dengan sebuah
anggukan pada Hyerin. “Oppaaa!” Lambaian tangannya terlihat bersemangat,
membuat Hansung tersenyum lebar dan berlari menghampiri mereka bertiga.
“Oppa tidak ada kelas memangnya?
Bukannya ada, ya?”
Hansung menggeleng, ia mengusak
kepala sang gadis dan tersenyum tipis. “Tidak, kajja! Omong-omong siapa di
antara kalian yang mau traktir? Kkk pasti sedang berulangtahun ya?”
“Hyerin noona, dia berhasil
mendapatkan nilai matematika tertinggi di sekolah. Hebat kan hyung? Siapa dulu
aku yang mengajarinya~”
“Mwo? Apa maksud perkataanmu
barusan? Ya— kau bisanya minta traktir saja, mana pernah kau mengajariku?
Heish, yang benar saja Shinwoo-ya.” Kepalan tangan Hyerin kembali mendarat di
atas kepala Shinwoo dengan mulusnya.
“Hahaha, Shinwoo-ya. Mungkin besok
giliranmu yang harus traktir kita bertiga.” Hansung tertawa puas, membuat
ketiganya ikut terbahak.
**
“Hyung, apa kau hari ini bertemu
dengan Ahyoung noona?”
“Uhm—hari ini sudah tiga kali aku
melihat wajahnya. Dan cukup membosankan.” Minseok menyesap susu hangat
berperisa vanilla kesukaannya.
“Jinjja? Ya— apa dia semakin
cantik? Aku ingin sekali bertemu dengannya lagi, hyung.”
Sang pria dengan secangkir susu
yang berada dalam genggamannya itu terkekeh pelan, “Kyuyoung-ah, kau bisa
menemuinya kapanpun kau mau. Dia selalu datang ke ruanganku setiap pagi pukul
sembilan, asal kau tahu.”
“Wah daebak, sepertinya dia sangat
menyukaimu hyung. Ah, padahal sayang sekali jika gadis cantik seperti itu hyung
abaikan.” Pria yang akrab disapa Kyuyoung itu berdecak, merasa bahwa dunia ini
tidak adil. Mengapa harus Han Minseok yang disukai Ahyoung? Mengapa bukan
dirinya?
“Sudahlah, habiskan makananmu. Aku
ingin memesan kopi lagi untuk Eunbi, tunggu sebentar di sini.” Minseok bangkit
dari kursinya.
...
“Karena udaranya dingin, aku akan
memesan susu hangat untuk kalian semua. Di sini kebanyakan menunya berbahan
dasar susu, unik ya? Apalagi kita akan berpesta daging, pasti akan ada banyak
kolesterol yang bersarang di tubuh.” Ujar Hyerin pelan. “Selebihnya kalian bisa
pesan minuman lain, setuju?”
“Ah ndee noona, terserah saja
karena aku menyukai susu.” Sahut Shinwoo dengan senang hati.
Nara mengangkat sebelah tangannya
tanpa ragu, jelas saja— itu semua karena kakaknya lah yang bekerja menjadi
pelayan di cafe ini.
“Yaa! Nara? Tumben sekali kalian
datang ke sini.” Bisik Nami setelah sampai ke meja mereka, terkejut bukan main
melihat kedatangan sang adik bahkan Nara juga membawa teman-temannya.
“Eh? Kalian saling mengenal?”
Tanya Shinwoo Heran.
“Ini Kang Nami noona, kakaknya
Nara. Mirip kan? Tapi jelas saja, Nara yang lebih manis. Benar kan noona?”
Hansung melirik ke arah Nami dan tersenyum lebar; mengusak rambut Nara.
“Aih dasar, terserah kau saja.”
Nami berdecak, memukul pelan lengan Hansung sebagai balasan. “Jadi, kalian mau
pesan apa?”
...
“Eh eh eh—“
‘DEG’
‘Tangan hangat itu.. menyentuh lenganku. Siapa..? Apa aku terjatuh? Apa
ada cangkir yang pecah lagi?’
Nami
membuka matanya, nampan itu masih berada di tangannya— namun... sesuatu yang
tidak diinginkannya terjadi lagi, persis seperti sebelumnya. Bedanya, tidak ada
cangkir yang pecah.
“A-ah maafkan aku, maafkan aku..”
Nami membungkuk berkali-kali dan tentunya meminta maaf, entah bagaimana reaksi
sang atasan setelah ini.
“Eo? A-aniya, tidak apa-apa. Hanya
susu dan ini bukan masalah besar, jangan khawatir. Tapi apa kau baik-baik saja?
Wajahmu terlihat pucat.”
Nami
terdiam, menatap mata hangat itu dalam diam. Ia terselamatkan karena pemuda di
hadapannya yang telah membantunya hingga ia tidak sampai terjatuh dan
memecahkan cangkir lagi. Untuk sepersekian detik lamunannya tersadar, mengingat
banyak pasang mata yang memperhatikan kesalahpahaman ini.
“Aku baik-baik saja. Eung— biar
aku bersihkan kemejamu.” Nami sontak mengambil sebuah sapu tangan bersih dari
kantung celemeknya, dan mengusapkannya pada kemeja sang pemuda.
“Tidak
usah, aku bisa sendiri. Kembalilah bekerja.” Sang pria tersenyum manis, sangat
manis. Kemudian mengambil sapu tangan milik sang gadis dan melakukannya sendiri
pada kemejanya. Atensinya menatap sepasang mata yang redup di sana. ‘Mungkin gadis itu kelelahan atau mungkin
ada sesuatu yang dipikirkan? Tapi, apa urusanku? Ah sudahlah.’
“Kamsahamnida— sekali lagi aku
minta maaf.” Nami membungkuk untuk yang terakhir kalinya, terlalu gugup untuk
membalas senyuman pria itu. Langkahnya pun dengan cepat membawa dirinya ke
dapur untuk mengganti secangkir susu yang tumpah di nampannya tadi.
Tanpa sadar arah pandangnya
mengikuti kemanapun Nami berada, ‘Kang Nami,
jadi namanya Kang Nami?’Ya, tanpa sadar dan tanpa sengaja pula atensinya
membaca huruf yang ada pada nametag milik pelayan cafe itu.
“Yaa- hyung! Kenapa melamun saja?
Lihat pakaianmu jadi kotor begitu. Aish— pelayan itu kenapa ceroboh sekali.”
Minseok terkekeh samar, “Tidak
masalah, tumpahnya tidak banyak kok. Kajja, aku tidak mau Eunbi menungguku
terlalu lama karena ini sudah selesai jam makan siang. Kopinya juga nanti
keburu dingin.”
**
Beberapa hari berlalu, Kang Nami;
seorang pelayan cafe yang terus dilanda masalah keuangan membuat dirinya harus
giat bekerja. Namun semenjak kehadiran...
“Masih betah bekerja di sini,
Nami-ssi?” Jooyoung menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk seringaian,
ya- seringai dingin itu lagi. “Kau pasti bosan ya melihatku setiap pagi selalu
ke sini?”
“Eo? Tidak sama sekali. ‘Karena aku tidak peduli.’Americano
favoritmu, selamat menikmati.” Ujar Nami dengan senyum sepersekian detik yang
mungkin tidak terlihat secara kasat mata.
“Wae? Kenapa sikapmu selalu
seperti itu setiap datang ke mejaku? Apa aku sebegitu menyebalkannya sampai
menatapku saja tidak mau.”
‘Nde! Tentu saja kau sangat menyebalkan! Sok dingin, sok perhatian,
suka merendahkan orang lain! Aku sangat bosan melihatmu, Jooyoung-ssi!’
“Apa aku terlihat aneh? Aku hanya
mengerjakan apa yang harus aku kerjakan, jadi— apa tindakanku salah?” Nami
menunjukkan senyum sewajarnya, tidak tahu saja apa yang tengah ia bicarakan
dalam lubuk hatinya tentang pria dingin dengan Americano di mejanya itu.
“Begitu ya—“
“Nde. Permisi, aku akan kembali
bekerja. Aku akan menemuimu nanti malam, tunggu aku jika tidak ingin menyesal.”
Ucap Jooyoung dengan santainya sambil menyesap kopi kesukaannya; tanpa melihat
ke arah Nami.
Gadis yang hendak melangkah
meninggalkan meja sang pria, berbalik sekilas. ‘Mwo? Naega? Untuk apa aku memenuhi permintaanmu itu?! Aish— terserah
saja lah.’Nami kembali memalingkan wajahnya dan pergi menjauh; melanjutkan
pekerjaannya.
‘Baiklah, kau harus bertanggung jawab karena telah membuatku penasaran
sampai seperti ini.’ Jooyoung menyeringai (lagi) menatap punggung Nami yang
mulai menjauhinya.
KRING!
Lonceng berbunyi menandakan ada
pengunjung lagi yang memasuki cafe tempat Nami bekerja, dengan sigap sang gadis
membawa buku menu dan membawanya menghampiri pengunjung tersebut.
‘Pria itu— apa aku pernah melihatnya? Rasanya wajahnya tidak asing..
Tapi dimana aku bertemu dengannya?’
“Oh, Minseok-ah! Tumben sekali
berkunjung ke sini?” Jooyoung tersenyum lebar; menepuk bahu sang pria yang
bekerja sebagai dokter ahli bedah di Hanshin Hospital.
“Nde, pagi ini aku bisa sedikit
bersantai.” Minseok terkekeh sekilas.
Kang Nami yang membawa buku menu
dan catatan menormalkan langkahnya yang sempat terhenti karena mendengar
percakapan kedua pria di meja yang sebelumnya ia datangi; tempat dimana Ahn
Jooyoung duduk.
“Selamat pagi, ada yang ingin
dipesan?” Tanya Nami dengan nada ramah seperti biasa, sejujurnya ia benar-benar
lupa siapa pria yang duduk satu meja dengan Jooyoung.
“Ah nde, aku pesan secangkir susu
vanilla dengan caramel. Tanpa gula.”
“Baik, silahkan menunggu.”
Lagi-lagi atensinya tanpa sadar
menatap Nami kemanapun ia pergi, hal itu membuat Jooyoung mengerutkan
keningnya. “Ada apa? Kau menyukainya? Heish- dia itu gadis yang tidak tahu
sopan santun, kau tidak tahu saja Minseok-ah.”
“Eh? Dia? Memangnya dia sudah
berbuat kesalahan apa padamu sampai kau bisa berkata seperti itu?”
Jooyoung memelankan suaranya, “Dia
sudah mengotori jasku dengan kopi, ah- dia sangat menjengkelkan karena sudah
merusak moodku di hari itu.”
Minseok dengan polosnya tertawa,
“Tidak usah berlebihan, beruntung bukan wajahmu yang terkena kopi panas itu.
Lagipula aku rasa di hari itu pelayan itu sedang sakit, wajahnya pucat sekali--
apa kau memperhatikannya? M-Maksudku, siang itu aku berkunjung ke cafe ini dan
dia melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu.”
“Yaa— apa dia menumpahkan sesuatu
ke pakaianmu? Heish jinjja- sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya.”
“Hmm begitulah, dia menumpahkan
susu ke kemejaku. Tapi aku tidak berlebihan sepertimu waktu itu, karena aku
pikir dia sedang sakit— jadi ya aku tidak mempermasalahkannya.” Ucap Minseok dengan
entengnya.
“Permisi, ini pesananmu. Susu
vanilla dengan caramel, tanpa gula. Silahkan menikmati.”
“Tunggu.. ah apa kau mengingatku
Nami-ssi?” Minseok tanpa ragu menanyakan hal itu pada Nami, hingga membuat Nami
sedikit- salah tingkah?
“Ani— maksudku.. Kau ingat
kejadian waktu itu, saat kau menumpahkan susu ke pakaianku?”
Maniknya membulat, Nami hampir
sesak napas begitu mengingat kejadian buruk itu. “N-Nde, aku sudah minta maaf
dan— bagaimana Tuan mengetahui namaku?”
Minseok menunjuk nametag yang
dipakai Nami dengan dagunya, “Kang Nami..”
“A-Ah ini, benar. Aku sampai
melupakannya.” Nami terkekeh pelan; salah tingkah sambil menyentuh nametag
dengan sebelah tangannya.
“Minseok-ah, kau mau dia dihukum
lagi karena melalaikan pekerjaannya? Dia memang gadis yang ceroboh, tidak usah
membuang-buang waktu dengannya.” Protes Jooyoung pada Minseok.
Nami hanya bisa menghela napas
melihat tingkah laku pria bernama Ahn Jooyoung itu, sungguh, ia sangat ingin
memukulnya habis-habisan jika ia tidak ingat bahwa dirinya adalah pelayan di
cafe milik kakaknya.
“Kalau begitu aku permisi dulu.”
Nami memutar tubuhnya dan menjauhi meja mereka dengan perasaan kesal.
“Tung— Heish, kau ini.”
“Yaa! Apa kau tertarik dengannya?
Apa menurutmu dia manis? Atau cantik? Hanya orang bodoh saja yang melihat
pelayan itu cantik ataupun manis. Ah sudahlah, aku duluan! Ada rapat yang harus
ku hadiri.” Jooyoung menyesap sisa kopinya, lalu meninggalkan Minseok seorang
diri.
‘Bodoh, mana mungkin aku menyukainya?
’
**
‘Untuk apa aku datang? Bisa-bisa khilaf nanti malah memukul wajahnya
sampai babak belur, lalu aku dituntut, dipecat, setelah itu masuk penjara.
Aish, aku tidak akan menemuinya malam ini! Aku harus cepat pulang.. Ayo Nami,
cepat selesaikan ini lalu pulang ke rumah.’
‘Dia belum datang kan? Syukurlah, misiku berhasil! Hahaha—‘
“Nami-ssi! Yaa! Mau kemana? Aku di
sini!” Jooyoung melangkahkan kakinya dengan santai menghampiri Nami, sang gadis
hanya bisa berhenti dan terdiam.
‘Oke kali ini aku gagal, tapi— masih ada waktu melarikan diri bukan?
Hana.. Dul.. Set!’
WUUZZZ..
‘Jangan berbalik, tenang saja dia tidak akan mengejarmu Nami-ah..’
“Apa-apaan dia, berlari
meninggalkanku begitu saja. Mau mati rupanya. Kalau begini, aku yang menyesal
jika minta maaf padanya. Dasar gadis bodoh.” Gerutu Jooyoung.
...
‘Hosh— jinjja, apa dia psikopat? Berani membuat janji pada orang yang
sudah ia rendahkan harga dirinya? Aku pikir hal itu hanya ada di film-film
saja. Tck—‘Nami mencoba mengatur napasnya.
“Pria itu benar-benar tidak tahu
malu—“
“Eoh? Siapa yang tidak tahu malu?
Apa ada seseorang yang mengejarmu barusan, eonni?”
“Mwo? Yaa—! Nara-ya, kenapa baru
pulang jam segini? Dimana Hansung? Apa dia membiarkanmu pulang ke rumah
sendirian selarut ini? Kenapa kau tidak memberitahuku, eh?”
“Yaa eonni, jangan marah-marah
dulu. Hansung oppa sedang membeli makanan dan minuman. Kita bisa makan malam
bersama ‘kan?” Cengiran khas sang adik yang sangat menggemaskan itu berhasil
menurunkan emosi Nami, beruntung ia memiliki Nara. Ya, sangat beruntung.
“Oh, noona sudah pulang? Kajja, di
luar semakin dingin. Ayo, kakak ipar juga cepatlah masuk— jangan malah melamun
di situ.” Hansung menarik lengan Nami; mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah
sederhana peninggalan keluarga bermarga Kang.
“Heish— apa maksudmu kakak ipar?!”
Nami menjitak pelan kepala Hansung; kesal melihat tingkah laku Hansung.
**
“Yaa! Apa kau tertarik dengannya? Apa menurutmu dia manis? Atau cantik?
Hanya orang bodoh saja yang melihat pelayan itu cantik ataupun manis.”
‘Apa aku termasuk orang bodoh itu? Bahkan dia terlihat baik, polos, dan
juga sopan? Jadi siapa yang bodoh di sini? Astaga—‘
“Dokter Han? Apa ada masalah?
Dokter Han—?”
“Oh? Eunbi-ya, aku hanya sedang
memikirkan sesuatu. Sebaiknya kita ke ruang rapat sekarang.” Ujar Minseok pada
Eunbi; asistennya.
“Ndee~” Eunbi menyahut disertai
senyuman terbaiknya. ‘Jangan kira aku
tidak mengetahui apa yang kau pikirkan Minseok-ah, pasti soal gadis lain? Iya
kan? Atau jangan-jangan Ahyoung? Sudah kuduga—‘
‘Aku pasti sudah gila, kenapa wajahnya selalu muncul di pikiranku?
Heish—‘Minseok memijit keningnya.
BRUG!
“M-Maafkan aku..” Ujarnya cepat
ketika tahu dirinya menabrak seseorang, entah itu siapa. Ia pun melanjutkan
langkahnya yang sempat terhenti.
“Maaf? Astaga, apa yang sedang ia
pikirkan sampai tidak melihat ini aku? Dasar, tck.” Jooyoung berdecak, ia
memilih untuk tidak ambil pusing begitu melihat tingkah laku Minseok yang aneh
tadi.
“Jooyoung oppa— ini untukmu.
Eung.. apa nanti siang ada waktu?”
‘Apa lagi ini? Hadiah dari gadis yang sama sekali tidak aku kenal?
Sulit juga menjadi pria tampan.’Jooyoung tersenyum simpul, menolak untuk
menerima kotak berpita biru dari sang gadis.
“Maaf, aku sudah ada janji. Dan
ini— mungkin bisa kau berikan pada ayahmu saja. Nde? Mian?”Jooyoung memilih
untuk meninggalkan gadis tadi, terlalu menyeramkan jika diteruskan.
“A-Aku.. Yaa— Jooyoung oppa! Aku
belum selesai bicara, aku akan meletakkan ini di ruanganmu! Heish— kenapa sulit
sekali mendekatinya?!”
**
‘Yaa— Kang Nami.. Siapa yang kau pikirkan daritadi? Han Minseok? Oh,
bahkan sekarang kau tahu namanya. Apa kau benar-benar gila? Lebih baik kau
pikirkan bagaimana cara agar pria menyebalkan bernama Ahn Jooyoung itu tidak
mengganggumu lagi, bahkan kalau bisa buat dia tidak datang mengunjungi cafe ini
lagi!’
‘Aish— gila, aku rasa aku sudah gila.’
“Kang Nami, itu ada pelanggan
kenapa masih diam di situ? Cepat bekerja, dan ingat— jangan membuat masalah.
Mengerti?”
“Ah ndee.” Sahutnya pada Yeojin;
kakak dari Jooyoung. ‘Baiklah, lupakan
soal mereka— Minseok dan Jooyoung, ah siapapun mereka aku tidak peduli. Aku
hanya perlu mengumpulkan uang yang banyak sekarang.’
Gadis
lulusan Manajemen Bisnis ini memang tidak beruntung, buktinya ia hanya mendapat
pekerjaan menjadi seorang pelayan cafe sederhana. Entah nasib buruk apa yang
menimpanya sejak kematian kedua orangtua karena kecelakaan. Nami berharap ia
tetap bisa membiayai sekolah adik satu-satunya yang ia miliki, dan ia juga
berharap bisa memiliki usaha sendiri setelah gaji yang ia kumpulkan cukup.
‘Aku pasti bisa melewatinya, hanya perlu bersabar beberapa waktu lagi.
Fokus pada pekerjaanmu, Nami-ya.’
“Annyeong!”
“Mwo..? Kau lagi? Dan—“ Atensinya
beralih pada seseorang di sebelah Jooyoung yang tak lain adalah Minseok. Ya,
Han Minseok. “A-Annyeonghaseyo.”
“Yaa— apa-apaan yang tadi itu?
Sangat tidak sopan, hormatilah semua pelanggan di cafe ini. Jangan hanya dia
saja, tcih dasar pelayan amatir.”
“Jooyoung-ah, tidak perlu membuat
keributan di sini. Ayo duduk.” Minseok mendorong Jooyoung pelan menuju ke salah
satu meja dan duduk di sana.
KRING!
“Annyeong, noona~”
“Kalian, apa tidak ada tempat lain
selain cafe ini? Dasar!” Lagi-lagi Nami menepuk kepala Hansung yang baru saja
datang bersama sang adik; Nara.
SRET— ‘Mata itu.. Tatapan itu.. Han Minseok? Apa itu benar dia? Sudah
berapa lama tidak melihat wajah sok polosnya, tapi— kenapa dia bisa di sini?
Apa dia bekerja di dekat sini?’
‘Minseok yang terbaik! Kapan kau bisa
seperti dia, Hansung-ah?’
‘Belajarlah dari Minseok, cita-citanya
menjanjikan.’
“Argh— Nara-ya.. Kita cari tempat
lain saja, aku sedang tidak ingin makan di sini. Nde?”
“Oppa gwaenchana? Nde, arraseo.
Eonni, annyeong!”
Kedua insan itu pergi meninggalkan
cafe, banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Nara sudah pernah menceritakan
tentang sikap aneh Go Hansung, tapi Nami pikir itu hanyalah sakit biasa. ‘Apa mungkin—‘
Nami tanpa sengaja menoleh ke arah
meja Jooyoung dan Minseok, sepasang mata hangat tengah memperhatikannya.
‘— Han Minseok? Apa mungkin ada hubungannya dengan mereka berdua?’
**
‘Siapa Han Minseok sebenarnya? Apa dia mengenal Hansung? Dunia ini
begitu sempit, ya.’
“Boo!”
“Omo—!” Nami menarik napasnya
dalam-dalam sambil menggerutu pelan karena terkejut dengan kehadiran pria yang
tak lain adalah Park Iljung.
“Sedang memikirkan apa? Lihat, ada
banyak pengunjung yang datang. Bukannya membantu temanmu yang kesulitan
melayani mereka, malah melamun di sini. Apa ada masalah?”
Nami salah tingkah, “A-anu, aku
sedang memikirkan sesuatu. Hanya masalah kecil.”
“Masalah kecil, ya? Kalau kau
tidak keberatan, aku bisa mendengarkan masalahmu itu. Siapa tahu aku bisa
membantunya. Hm?” Bukannya menggoda, Iljung memang terlalu baik menurutnya;
sangat berbeda dengan sang kakak.
“Tidak perlu, aku bisa
menyelesaikannya sendiri.” Sahutnya sopan disertai kekehan pelan.
‘Drrt Drrt. Hansung— Calling..’
Nami menatap Iljung sekilas, lalu
dengan sigap langsung mengangkat telepon dari Go Hansung; orang yang menjadi
beban pikirannya sedaritadi.
“Yeoboseyo? Hansung-ah, ada apa?
Oh? Sekarang? Baiklah, aku segera ke sana.” Tatapannya beralih pada Iljung
(lagi), meminta waktu untuk bertemu dengan Hansung di luar cafe.
Belum sempat Nami berbicara,
Iljung langsung menimpali. “Jja— pergilah, mumpung hyungku belum datang.
Palli—“
Dengan senyuman lebarnya, Nami
berjalan cepat keluar dari cafe setelah berterimakasih pada adik Yoojung.
...
“Ada apa?” Tanyanya singkat begitu
sampai di taman yang letaknya tidak jauh dari cafe tempatnya bekerja. “Ada
sesuatu yang mengganggumu? Atau ini ada hubungannya dengan Nara?”
Hansung menghela napasnya berat,
terlihat sekali ada sesuatu yang tidak beres di sana. “Noona mengenal pria
itu?”
“Nugu? Siapa pria yang kau
maksud?”
“Han Minseok. Pria yang duduk di
meja dengan senyum jahat itu.” Jawab Hansung tanpa menatap Nami yang tengah
kebingungan.
“Minseok? A-aku tidak begitu
mengenalnya, tapi aku tahu kalau dia bekerja di Hanshin Hospital dan sering
mampir ke cafe setiap pagi.”
“Mwo?? Apa noona bilang?? Dia
bekerja di Hanshin?”
Nami memotong jarak di antara
mereka, “Ssst— jangan keras-keras bicaranya— Memangnya ada apa? Kau
mengenalnya?”
“Begitu ya— uhm sebaiknya aku
pergi sekarang, karena ada seseorang yang memanggilmu dari jauh. Sepertinya dia
mencarimu daritadi, noona. Annyeong!” Hansung membenarkan posisi snapback yang
dikenakannya, kemudian berjalan menjauh dari Nami.
“Yaaa! Mau kemana? Yaa!”
“Nami-ssi?” Suara yang sangat Nami
kenal baru saja memanggilnya; Jooyoung.
“Astaga— Kau lagi. Aku tidak ada
waktu, sampai jumpa.”
Belum sempat Nami melangkahkan
kakinya pergi, tangan Jooyoung langsung menahan Nami. Pria itu menarik lengan
Nami tanpa berpikir dua kali. “Tunggu—“
Nami melepas paksa pergelangan
tangannya yang dipegang erat oleh Jooyoung, ia pun berbalik menghadap sang
pria. “Mwo? Apa kau mau merendahkanku lagi? Di depan semua orang? Maaf, aku
tidak punya waktu untuk itu, Jooyoung-ssi.”
“Jeongmal mianhae, atas kejadian
waktu itu. Emosiku sedang tidak baik, aku memiliki banyak masalah di Hanshin.
Jadi, maafkan aku.”
Nami mengangkat salah satu sudut
bibirnya samar, “Apa ini salah satu leluconmu? Aku tahu, kau adalah orang kaya.
Aku juga tahu, kau adalah pewaris tunggal Hanshin. Tapi apa dengan begitu, kau
bisa menginjak harga diri orang lain seenaknya? Tidak, Jooyoung-ssi.”
“Mian. Aku tahu aku salah waktu
itu, seharusnya aku tidak menghina dirimu. Dan aku menyesal, karena sejak itu—“
Jooyoung menjeda ucapannya, menelan salivanya sebelum melanjutkan.
“— aku mulai menyukaimu,
Nami-ssi.”
GLEK. ‘Apa itu barusan? Pernyataan cinta? Hah— sadar Nami sadar! Pria itu
hanya sedang berakting! Lagipula aku sama sekali tidak menyukainya, bahkan aku
membencinya. Sangat membencinya.‘
Nami terdiam, segala perkataannya
seakan menyangkut di tenggorokkan dan memilih berputar di otaknya saja. “Mian,
banyak hal yang harus aku kerjakan.” Sahutnya pelan, ia pun meninggalkan
Jooyoung yang masih membeku di posisinya.
Jooyoung dan Nami tidak tahu, ada
dua pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Sepasang mata hangat namun
tajam telah menatap mereka dari balik pohon, sementara sepasang lainnya sedang
bersandar santai di balik dinding.
...
“Oh? Minseok-ssi? Sudah ada yang
membawakan pesananmu?”
Pria yang sekarang sudah duduk di
meja paling pojok; menggeleng pelan. “Uhm, belum. Aku juga baru datang.”
Nami menghampiri meja itu dan
tersenyum tipis, “Vanilla milk dengan caramel, tanpa gula. Benar?”Wajah tampan
itu mengulas senyum dan mengangguk pada Nami. “Baiklah, tunggu sebentar.” Sahut
Nami yang juga mengulas senyum lebarnya; sangat berbeda pada saat berbicara
dengan Jooyoung sebelumnya.
Dua pribadi yang sangat berbeda,
seperti kopi dan susu yang menjadi kesukaan masing-masing dari mereka. Hitam
dan putih. Pahit dan manis. Gelap dan terang. Sangat mencerminkan kepribadian
mereka, yah— walaupun gadis itu belum mengetahui innermereka sebenarnya. Mungkin bisa saja beberapa karakter kopi
dan susu yang tadi disebutkan adalah berbeda dengan karakter dua manusia yang
menarik perhatiannya ini, siapa yang tahu?
**
“Kajja— aku akan mentraktir makan
siang untuk kalian!” Seru Jooyoung pada tiga orang pasukan yang ia bawa ke cafe
ini; Kyuyoung, Minseok, dan juga adiknya sendiri— Ahyoung.
“Yaa— berhenti menatapku seperti
itu Lee Kyuyoung-ssi!” Ahyoung memutar bolamatanya malas, “Aku tahu aku cantik,
tapi tolong jaga sikapmu. Jangan kekanakan begitu, heish—“
Mereka pun memasuki cafe yang
ramai seperti biasanya.
‘Mereka.. saling mengenal? Pria yang menyatakan cinta pada Nami noona itu—
dan Han Minseok saling mengenal?’Hansung terkekeh pelan, dirinya yang
berada di luar cafe sedang menatap empat orang di satu meja. Dimana terdapat
satu orang yang ia cari.
“Aku keluar sebentar, lima menit.
Samakan pesananku dengan kalian saja, nde?” Ucap Minseok pada tiga orang
lainnya.
“Yaa— eoddiga?”
Minseok hanya tersenyum tipis pada
mereka, kemudian melanjutkan langkahnya keluar cafe. Tanpa ragu ia mendekat ke
arah Hansung. Ya, Minseok melihat Go Hansung sedaritadi, dan ia tidak ragu
untuk menghampirinya.
“Ekhem, bagaimana kabarmu
Hansung-ah?”
Yang diajak bicara terperanjat
kaget begitu mendapati Minseok sudah berada di sampingnya, “Hyung—“
“Kau mencariku?”
Hansung menghembuskan napas kasar,
“Hah— untuk apa aku mencarimu? Kau adalah beban, orang yang membawa pengaruh
buruk yang pernah aku temui, dan kau adalah penghancur hidup orang lain!”
“Hansung-ah, tidak baik menyimpan
dendam. Lebih baik kau masuk ke dalam, aku akan mentraktirmu. Kajja—“
Hansung berdecih malas, “Jauhi
Nami noona, hanya itu yang ingin ku katakan padamu. Jangan menipunya dengan
parasmu itu, hyung.”
“Kang Nami? Kami hanya teman, dan—
dari mana kau tahu gadis itu? Kau mengenalinya?” Minseok bertanya pada Hansung,
tentu saja ia tidak mengetahui hal ini. Ia tidak mengetahui bahwa ternyata
Hansung mengenal sosok Nami, dan sebaliknya.
“Sudahlah, intinya— jauhi dia!
Mudah memang membuat gadis-gadis tertarik padamu, tapi tidak untuk Nami noona.
Cukup aku saja yang kau hancurkan. Ini peringatan pertama, jika kau masih
mendekatinya— aku tidak akan tinggal diam. Aku pergi.”
Minseok menatap heran Hansung yang
mulai menjauh, ‘Apa hubungannya kau
dengan Nami, Hansung-ah..’
“Minseok-ssi, sedang apa di luar?”
Tanya Nami yang tiba-tiba menghampiri Minseok yang masih berdiri di dekat pintu
masuk cafe.
“Eoh? Nami-ssi.. Aniya, ada rekan
kerjaku yang menemuiku tadi. Kenapa repot-repot memanggilku? Heish— pasti
kerjaan mereka.” Minseok berdecak kesal, “Yaa— memangnya aku anak kecil?!“
Nami tertawa geli, “Mungkin mereka
menganggapmu begitu? Pfft— Kenapa tidak mengajak rekan kerjamu makan bersama?
Apa dia tidak dekat denganmu?”
‘Rekan kerja ya? Jadi Go Hansung kau anggap rekan kerjamu, Minseok-ssi?
Sebenarnya ada apa di antara kalian?’
**
Hening. Hanya suara jangkrik dan
semilir angin yang menyapu bulu-bulu halus di kulitnya. Tubuhnya ia biarkan
bertumpu pada lengan yang terlipat di pegangan jembatan yang terbuat dari kayu.
Yah, begitu banyak hal-hal yang mengganggu pikirannya selama ini, juga
perasaannya. Tunggu— perasaan? Apa ada masalah dengan perasaan Nami?
Ia mengacak-acak rambutnya; gemas
sendiri. “Mwoyaaaa—! Huh!”
Semakin hari kedua pria itu
membuatnya semakin bingung, mulai dari Ahn Jooyoung. Seorang pria sombong nan
menyebalkan belum lama ini menyatakan perasaannya pada Nami, siapa yang tidak
terkejut dengan hal itu? Tapi entah mengapa Nami mulai memikirkannya, sikapnya
perlahan berubah menjadi sosok yang menyenangkan; namun tetap menyebalkan.
Bahkan Nami sudah bisa merasakan kerinduan apabila Jooyoung tidak datang ke
cafe dan menyapanya.
“Americano.. Aku tahu itu
kesukaanmu, Jooyoung-ssi.”
Di sisi lain, ada sesosok pria
lain yang menjadi idamannya. Dia adalah Han Minseok. Pria ramah nan hangat,
seakan Minseok adalah magnet bagi diri Nami untuk selalu mendekatinya dimanapun
ia berada.
“Vanilla milk with caramell and
less sugar.. Itu untukmu, Minseok-ssi.”
‘Yaaaa—! Kang Nami, sadarlah! Mereka berdua sama. Sama-sama seorang
pria kaya yang memiliki tanggung jawab besar memegang Hanshin. Sama-sama pria
kaya yang berotak cerdas. Lalu kau apa? Hanya seorang wanita yang masih
berusaha mencari pekerjaan yang layak, tanpa kelebihan dan tanpa orangtua.’
‘Molla, entah apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku hanya bisa
mengikuti arah angin kemanapun perginya.’
“Annyeong, Nami-ssi.”
Suara itu lagi, senyum itu lagi,
tatapan hangat itu lagi. “A-Ah, annyeonghaseyo. Kenapa bisa ada di sini?
Bukannya jadwal kerjamu sudah lewat?” Ujar Nami setengah terbata.
“Taman ini selalu terlihat dari
atas sana, begitu pula dirimu.”
Nami mengikuti arah jemari Minseok
yang tengah menunjuk sesuatu di atas gedung Hanshin, “Rooftop? Heish— kau ini
bicara apa? Mana mungkin aku bisa terlihat dari jarak sejauh itu.”
Minseok terkekeh, “Tidak percaya?”
“Tidak sama sekali.” Nami
menggelengkan kepalanya dengan tempo yang tidak cepat.
“Kalau begitu, ikut aku.” Tanpa
aba-aba, Minseok menarik tangan Nami. Membawanya masuk ke sebuah bangunan rumah
sakit, dengan menggunakan lift Minseok mengajak Nami untuk naik ke lantai paling
atas; rooftop.
Sang gadis hanya bisa diam, tidak
berani mengucapkan sepatah katapun pada pria itu. ‘Apa yang akan dia lakukan? Mau apa ia mengajakku ke rooftop? Astaga—‘
“Daebak—“ Hanya kata itu yang
terlontar dari mulutnya, bagaimana tidak? Di hadapannya kini sudah tersaji
ribuan bintang dan pemandangan kota Seoul yang sangat indah. “Apa ini mimpi?”
Gumamnya sambil terus berjalan perlahan menghampiri pembatas.
Minseok tersenyum mendengar
gumaman sang gadis, “Coba saja lihat, taman itu terlihat dari atas sini.”
“Nde, sangat terlihat. Dan aku
berdiri di sana! Jembatan kecil itu! Eh, tapi— tanpa teleskop kau tidak akan
bisa melihatku berdiri di sana bukan? Bahkan sekarang aku tidak dapat melihat
orang-orang yang ada di taman itu.” Sanggah Nami.
Minseok lagi-lagi tersenyum, kali
ini lebih lebar. “Memang.” Sahutnya singkat.
“Lalu?” Nami menatap Minseok
dengan mata bulatnya.
“Dasar kau ini—“ Dengan gemasnya
Minseok mengusak surai hitam Nami, lalu merangkulnya tanpa ragu. “Apa kau
benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataanku?”
Wajah polos Nami mengucapkan
segalanya bahwa Nami benar-benar tidak mengerti apa yang Minseok katakan
mengenai dirinya.
“Itu karena kau selalu berputar di
pikiranku, jangankan di sini. Di dalam ruangan operasi pun aku bisa melihat
dirimu, Nami-ssi.”
‘Apa itu barusan? Pernyataan cinta lagi? Dari orang yang berbeda? Oh
Tuhan— tolong aku.’Bibirnya bergerak, berusaha mengeluarkan beberapa kata.
“Aku tidak mengerti.” Jantungnya mulai berdegup kencang, ‘Aku salah bicara, astaga— kenapa aku mengeluarkan kalimat bodoh itu.
Paboyaaa!’
“Jinjjayo? Kau masih belum
mengerti juga? Heish—“ Minseok mengusap tengkuknya; sedikit canggung. Pria itu
pun berdehem, menghadapkan dirinya ke arah Nami yang tengah menatapnya bingung.
Kedua tangannya meraih tangan milik gadis berpipi tembam itu, menggenggamnya
penuh kehangatan.
“Naega— dangshineul johahamnida.”
Atensinya menangkap ekspresi
serius milik Minseok, tidak percaya bahwa tangannya tengah digenggam sang adam
dengan eratnya.
“Kenapa? Apa aku terlalu cepat
mengatakan semua ini padamu? Oh astaga, benar saja. Aku pun sebenarnya tidak
ingin mengatakannya sekarang. Tapi— entahlah, aku tidak dapat menyembunyikannya
lagi darimu.”
Nami melepaskan genggaman hangat
itu, dan menyambutnya dengan senyum tipis. “Mianhae, aku bukan tidak
menyukaimu. Aku butuh sedikit waktu untuk memikirkannya.”
Minseok balas tersenyum, “Ah
begitu, aku rasa kau benar. Kau membutuhkan waktu— untuk memilih. Bukan
begitu?”
“Nde?” Nami terkejut atas
pernyataan dan pertanyaan retoris yang dilontarkan Minseok, ‘Bagaimana dia tahu soal Jooyoung? Aku sama
sekali tidak pernah mengatakan hal itu pada siapapun.’
“Bagaimana aku tahu? Pasti itu
yang ada di pikiranmu sekarang.” Minseok terkekeh pelan, menunjukkan seringai
kecilnya. “Tidak masalah, aku akan menunggu. Berapa lama pun itu.”
‘Apa ada seseorang yang memberitahunya soal ini? Atau saat itu dia
melihat aku dan Jooyoung?’
Terkadang memang mata tidak dapat
dipercaya, tapi siapa sangka ini semua akan terjadi? Dua orang pria yang
berbeda menyukai satu wanita. Jooyoung menghembuskan napas kasar, menendang
dinding dengan keras setelah kedua insan tadi pergi dari penglihatannya. Ingin
sekali ia meluapkan seluruh emosinya sekarang juga di depan Minseok, namun apa
daya? Apa haknya untuk marah pada Minseok? Toh, memang sikapnya jauh lebih baik
dibanding dirinya. Tapi apa salahnya juga orang seperti Jooyoung menyukai gadis
seperti Nami? Tuhan pun tidak melarang, bukan?
**
Pagi yang cerah pun terasa redup
di mata sang adam yang kini sedang bersimpuh di ruang kerjanya, Jooyoung
menyesap kopi yang tersaji di atas meja dengan hikmat sampai suara ketukan
pintu membuyarkan lamunannya.
“Masuk—“
“Annyeonghaseyo,” Seorang pria
yang tak lain adalah.. “Go Hansung imnida.”
“Nuguseyo? Apa ada sesuatu yang
membuatmu datang ke sini? Karena sejujurnya aku tidak mengenalmu.” Jooyoung
menatap Hansung bingung.
“Nde, aku hanya ingin berbicara
empat mata denganmu Jooyoung hyung-nim.” Jawabnya disertai dengan senyum tipis,
sangat tipis sampai hampir tidak terlihat. “Masalah pribadi.” Imbuhnya
kemudian.
“Masalah pribadi? Tapi aku sama
sekali tidak mengenalmu, begitu pun sebaliknya. Jadi, masalah apa yang kau
maksud?” Jooyoung terlihat semakin bingung dengan segala perkataan Hansung yang
ditujukan padanya.
“Boleh aku duduk?” Tanyanya
meminta izin. Melihat pria di balik meja kerjanya mengangguk sekilas, Hansung
pun langsung mendudukkan diri di hadapan Jooyoung; tidak ingin membuang waktu.
Hansung berdehem, “Hyung-nim
mengenal Kang Nami bukan? Apa dia sudah menerima cintamu waktu itu?”
“M-Mwo? Aku tidak memintanya untuk
menerima— yaa! Bagaimana kau tahu soal itu?” Jooyoung mendelik tajam ke arah
Hansung, terkejut atas pertanyaan-pertanyaan retoris yang dilontarkan.
“Ah, iya maaf. Waktu itu kau hanya
menyatakan perasaanmu saja padanya, dan tidak memaksa Nami noona menerima
cintamu. Kali ini aku benar ‘kan?” Hansung mengangguk-angguk sendiri. “Satu
lagi, pasti sekarang kau sedang kesal karena ada orang lain yang melangkah
lebih jauh darimu namanya— uhm, Han Minseok.” Ia mengeja nama -Han Minseok-
dengan penuh penekanan.
“Yaa—“
Hansung berdiri dari kursinya, membungkuk sambil
memperkenalkan kembali dirinya sendiri agar Jooyoung cepat menangkap maksudnya.
“Go Hansung imnida, pacar dari Kang Nara yang merupakan adik dari Kang Nami.
Tambahan, aku juga tidak menyukai pria bernama Han Minseok apalagi melihatnya
pacaran dengan calon kakak iparku.” Jelas Hansung dengan ekspresi serius, ia
pun kembali duduk di tempatnya.
Jooyoung menelan salivanya, ‘Aku paham sekarang.’
“Kita bicara di luar.” Ucapnya
singkat dan langsung berjalan ke luar ruangan dengan gesture yang menjadi ciri
khasnya.
Hansung terdiam, ia hanya bisa
mengangguk dan mengekori sang pria menuju salah satu tempat yang jarang
diketahui penduduk kota Seoul. Yah— yang jelas bukan cafe di mana Nami bekerja.
“Jadi, apa misimu sekarang?”
Jooyoung memasukkan sebelah tangannya ke saku celana seraya bersandar di
dinding, atensinya menatap Hansung; menunggu respon.
“Eung—“ Hansung melihat ke
sekeliling, “Menyingkirkan Minseok. Kau— dan aku— bisa bekerja sama bukan?
Dengan begitu akan lebih mudah memisahkan Minseok dengan Nami noona.”
“Caranya? Asal kau tahu, Minseok
bukan orang sembarangan. Einstein pun rasanya akan kalah jika dibandingkan
dengannya.”
Hansung menghela napasnya,
berusaha bersabar kala Jooyoung melontarkan kalimat yang entah disebut pujian
atau apa. Hansung benar-benar sudah muak mendengar ucapan itu. “Heish— masa
bodo dia itu Einstein atau bukan, aku tidak peduli. Sekarang yang terpenting
adalah menyingkirkannya. Aku tidak meminta kau untuk mendeskripsikan Minseok,
hyung-nim.” Jelasnya panjang lebar, terdengar nada kesal luar biasa di
dalamnya.
Jooyoung terkekeh pelan, “Wah wah,
sepertinya dendammu pada Minseok sudah tertanam sejak kecil ya?”
“Kau benar, dia sudah
menghancurkan hidup dan mimpi seseorang.” Jawabnya dengan penekanan di setiap
katanya.
“Arra arra, jadi bagaimana kita
bisa membuat Minseok menjauh dari Nami?” Tanyanya ulang.
Minseok menggeleng pelan, “Mungkin
kata menderita lebih cocok untuknya. Ada satu cara—“Ia mendekatkan bibirnya ke
telinga Jooyoung, “— pecat dia.”
“Mwo? Astaga itu mustahil, apa
harus sekejam itu? Aku tahu, aku yang bertanggung jawab atas Hanshin. Tapi
tentu saja aku tidak bisa sembarangan menyuruh pamanku untuk memecat pegawai,
bisa-bisa Hanshin dituntut setelah itu.”
Hansung berdecak kesal, “Biar aku
yang mengaturnya, di kepalaku sudah banyak sekali ide untuk menghancurkan
Minseok.”
“Kau menyeramkan, sungguh.” Gumam
Jooyoung.
**
Waktu berlalu begitu cepat, jarak
antara Minseok dan Nami pun semakin dekat namun masih sebatas sahabat; tidak
lebih. Nami lebih nyaman menjadikan Minseok sebagai sahabat karib dibandingkan
pacar, yah— untuk saat ini begitu. Di sisi lain perasaannya terus menunjukkan
tanda-tanda aneh bila dekat dengan Minseok, entah apa artinya ia pun tidak
mengetahuinya.
Lain lagi dengan Jooyoung. Nami
menganggap pria itu sama seperti saat pertama kali mereka bertemu, namun bisa
dikatakan lebih dekat ‘sedikit’ dengannya. Tentu saja hal itu membuat Jooyoung
dan ‘calon adik ipar’ Nami berani bertindak lebih demi menyingkirkan Han
Minseok.
“MWO?” Minseok menutup mulut Nami
dengan cepat menggunakan tangan besarnya, menghindari adanya pembicaraan antar
pengunjung cafe.
“Tidak usah berteriak, paboya—“
Sang gadis perlahan melepaskan tangkupan tangan Minseok, mengerjapkan matanya
sebelum akhirnya berbicara.
“Mianhae— tapi, kau serius?
Dipecat dari Hanshin? Kenapa? Kau menghilangkan nyawa orang lain saat operasi?”
Rentetan pertanyaan diajukan pada sang pria; meminta penjelasan.
“Nde, pintar sekali kau Nami-ya.”
Ujarnya santai, namun sesungguhnya di balik keputusan kepala Hanshin Hospital,
Minseok merasa ada seseorang yang menghancurkan karirnya.
“Minseok-ah.. Aku yakin ini salah
paham, pasti bukan itu penyebabnya. Karena— kau sudah bertahun-tahun menjadi
dokter ahli bedah, bahkan namamu sudah tersebarluas ke seluruh negara.”
Minseok tersenyum, “Aku bisa
mengatasinya, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pikir seseorang sedang
mencoba menghancurkan karirku sekarang.”
Kedua manik kembar Nami membulat
sempurna, “A-apa? Tapi siapa? Kau sudah tahu siapa orangnya? Mana mungkin ada
orang setega itu?”
“Ada, tentu saja ada.” Sahut
Minseok ringan, ia akan coba menyelidikinya dan mencari bukti sebanyak mungkin.
“Aku akan membantumu, nde?” Nami
mengulas senyum, berniat untuk menghibur Minseok yang sepertinya sudah kesal
setengah mati.
**
Beberapa hari kemudian..
Rencana berjalan mulus, mereka berdua sangat tidak
menduga bahwa Minseok sangat mudah dikalahkan. Tawa kedua insan tersebut kini
pecah, hampir satu liter alkohol masuk ke dalam lambung masing-masing dari
mereka. Bisa ditebak di mana mereka sekarang; Ya— Jooyoung dan Hansung sedang
bersenang-senang merayakan keberhasilan rencana mereka.
‘Pasti kau
biangnya! Aku tahu kau membenci Minseok, tapi aku tidak tahu kau akan setega
ini padanya. Oh ayolah semoga saja dugaanku salah, semoga saja kecurigaanku ini
tidak benar.’
Dikeluarkannya benda pipih yang sedaritadi bersemayam
di saku mantelnya, mengetikkan sesuatu kepada Hansung.
-Eoddiya? Nara mencarimu daritadi. Ini hari
libur, apa kau tidak ingin mengajaknya jalan-jalan?-
SEND
Nami berdecak kesal, tidak ada
respon. Terpaksa ia menghubunginya langsung, seorang Nami tidak akan rela
membuang waktunya sedikitpun. Dicarinya kontak Hansung, lalu menekan ikon Call
di layar menggunakan telunjuknya.
“Yoboseyo? Yoboseyo, Hansung-ah?”
‘Hahahaha, kau sangat pintar Go Hansung...!’
‘Aigoo hyung-nim, ini semua juga berkat bantuanmu
hingga aku bisa menghancurkan hidup Jooyoung yang sok kaya itu.’
“Ndee noona? Ada apa
menghubungiku?” Tanya Hansung dari seberang sana.
Nami terdiam, mengeratkan
pegangannya pada ponsel seraya menggigit bibirnya. ‘Jooyoung-ah.. Kau kah itu..?’ Sontak ibu jarinya bergerak
mengakhiri panggilan.
Lututnya bergetar, kakinya
melangkah cepat menuju suatu bar kecil yang sering dikunjungi Nami dan Hansung
ketika pikirannya sedang kacau.
‘Benar.. Itu suara Jooyoung, Ahn Jooyoung yang pernah menyatakan
perasaannya padaku.’ Nami menelan salivanya, tungkainya terus melangkah
lebar. ‘Sudah kuduga, mereka saling
mengenal. Tapi sejak kapan? Bagaimana bisa Hansung merahasiakan ini darinya?’
...
“Hebat.. Hebat.. Kau memang hebat
Hansung-ah!”
Suara khas Jooyoung terdengar dari
pintu masuk bar, mereka berdua sudah benar-benar mabuk. Perlahan Nami
menghampiri meja mereka, wajahnya sudah memerah karena kesal.
PLAK!!!
Sebuah tamparan mendarat tepat
pada sasaran, bukan pada Jooyoung— melainkan Hansung. Kesabarannya sudah habis,
seorang Go Hansung yang dikenalnya sudah berubah. Bagaimana bisa Nara memilih
lelaki pendendam seperti ini, eh?
“Noona— apa yang kau lakukan? Kau
menamparku?” Hansung mendongak menatap Nami dengan tatapan khas orang mabuk,
seraya memegangi pipinya sendiri.
“Nami-ssi?” Dugaannya salah,
Jooyoung tidak sepenuhnya mabuk. Dengan cepat pria bermata sipit itu kini
berdiri, memegang pergelangan tangan Nami yang mengepal.
“Kenapa—? Kenapa kalian melakukan
ini padanya?” Tanya Nami dengan nada bergetar, menatap Hansung yang mabuk berat
dengan tatapan mengintimidasi. Mungkin Hansung tidak merasakan itu sekarang.
“Noona-ya, duduklah dulu.
Memangnya apa yang kami lakukan? Aku dan hyung-nim hanya bersenang-senang,
kok.”
Nami menoleh ke arah Jooyoung,
“Apa yang kalian lakukan—” Ia mengulangi kalimat pertanyaan yang sebelumnya
diajukan oleh Hansung. “—sangat keterlaluan. Kalian tahu? Kalian sudah
menghancurkan hidup tiga orang di sini. Ya, tiga.”
Jooyoung mengeratkan genggaman
tangannya pada pergelangan Nami, berharap gadis itu memberinya waktu untuk
menjelaskan.“Han Minseok.. Dan diri kalian sendiri.” Imbuh Nami kemudian.
“Ya— noona, kau sudah tahu
mengenai masa laluku dengannya. Dan kau masih menyalahkanku? Siapa yang lebih
dulu menghancurkan siapa? Aku yang menjadi korban pertamanya! Dan setelah itu—
adalah noona— yang akan jadi korbannya!” Hansung berdecak, “Heish, masih tidak
mengerti?”
Nami menghempaskan tangannya yang
genggam oleh Jooyoung, bersiap mendaratkan telapak tangannya lagi di pipi
Hansung untuk yang kedua kalinya.
“Nami-ya! Dengarkan aku—!” Sebuah
tangan besar menghalangi aksinya, Jooyoung berhasil menahan tangannya yang
sudah berjarak sedikitnya sepuluh senti dari wajah Hansung.
“Dia hanya ingin melindungimu. Termasuk
aku.”
Nami terkekeh; terdapat senyum
meremehkan di sana, sungguh ia tidak mengerti apa yang terjadi di sini.
“Naega?”
Jooyoung melepaskan tangan Nami,
“Aku tidak ingin kau terperangkap dalam jebakannya. Dia tidak pantas bersamamu.
Aku ingin dia menjauh darimu— begitu pula sebaliknya.”
Bulir airmata milik Nami berhasil
turun melewati kedua pipinya, amarah tengah menguasai dirinya. “Memangnya siapa
yang menilai dia pantas untukku atau tidak? Kau yang terlalu kekanakan,
Jooyoung-ssi.” Ujarnya pelan namun menusuk, tanpa sedikitpun berteriak.
Maniknya beralih pada Hansung yang
entah masih sadar atau tidak, “Kalau begitu, sekarang aku bisa menilai bahwa
kau— Go Hansung tidak pantas berada di samping adikku.” Ucapnya dengan sedikit
membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada Hansung.
“—aku pergi.” Nami membalikkan
badannya, meninggalkan kedua pemuda itu tanpa berpikir panjang.
Keadaan jalan yang sunyi, angin
malam yang berhembus seakan mengetahui perasaan kecewa yang ada di benaknya.
Beberapa kalimat yang Jooyoung katakan membuatnya berpikir panjang selama di
perjalanan pulang.
‘Aku akan membuatnya bekerja kembali di Hanshin, dengan syarat kau
harus menjauhi Minseok. Hanya itu, mudah kan?’
“Otteokaji...? Seakan masalah ini
timbul karena ada aku di dalamnya, seakan aku lah penyebabnya!” Nami
mengacak-acak rambutnya. “Aku benar-benar gila sekarang—“
“Eoh? Nami?”
Kepalanya benar-benar pusing
sekarang, sampai ia merasa kalau suara yang menyapanya itu tidaklah nyata.
“Nami-ssi?”
‘Tidak, itu nyata!’ Sontak Nami berhenti, mendapati sesosok Minseok
berdiri di hadapannya. “Ah, nde. Annyeonghaseyo—“
“Yaa— Apakah ada sesuatu
mengganggu pikiranmu sampai wajahmu memerah seperti itu?”
Spontan ia menutupi sebagian
wajahnya dengan sweater full-neck yang dipakainya, “Aniya! Aku— pulang dulu,
Nara pasti mencariku.” Ujarnya seraya membungkuk untuk yang terakhir kalinya.
Entah malam ini benar-benar yang terakhir atau tidak.
**
Pagi hari yang cerah, mungkin ini
terakhir kalinya ia menghirup udara pagi di dalam Cafe tempatnya bekerja. Yah—
mungkin ini terakhir kalinya ia menikmati senyum para pengunjung cafe yang puas
karena pelayanan yang diberikan Nami. Juga terakhir kalinya Nami membuatkan
secangkir Americano dan secangkir Vanilla Milk untuk dua pria itu.
“Ini untukmu, Minseok-ssi. Dan ini
untukmu, Jooyoung-ssi.” Nami mengulas sebuah senyuman di wajahnya, seakan ia
menganggap kejadian semalam tidak benar-benar terjadi. Dan itu sangatlah
membuat Jooyoung resah.
“Nami-ssi, aku ada kejutan
untukmu. Berkat dirimu, aku tidak jadi dipecat— bahkan jabatanku dinaikkan
sekarang.” Ujar Minseok senang, sementara teman di sebelahnya hanya tersenyum
kecil; sedikit melirik ke arah Nami. Ingin tahu bagaimana reaksinya setelah
mendengar kabar ini.
“A-Ah.. Jinjja? Syukurlah kalau
begitu, aku ikut senang mendengarnya!” Nami tersenyum lebar. “Chukkae,
Minseok-ssi. Dengan begitu aku tidak perlu khawatir lagi.”
“Kau memang tidak bersalah, ini
hanya kesalahpahaman bukan?” Jooyoung tertawa pelan sebelum menyesap kopi
favoritnya.
Tangan Minseok terulur; mengacak
rambut Nami sekilas, tidak peduli ada Jooyoung di sana. Toh, memang tidak ada
hubungan spesial di antara mereka bukan? Walaupun Minseok masih menginginkan
hal itu, sih.
...
“Aku minta maaf.“ Nami menyodorkan
sebuah surat pernyataan pada Park Yoojung, di sana juga ada sang istri— Lee
Yeojin dan sang adik— Park Iljung yang berada satu ruangan dengannya.
“Apa ada sesuatu yang membuatmu
tidak nyaman di sini?” Tanya Yeojin pada Nami.
Yang ditanya menggeleng pelan,
“Ani— aku hanya ingin membuka usaha sendiri. Aku sudah menyusun rencanaku, dan
setelah dihitung-hitung tabunganku sudah cukup untuk memulai itu semua.”
Yoojung mengangguk, “Baiklah kalau
itu keinginanmu, semoga usahamu berjalan lancar— dan ini tambahan untukmu.
Karena aku pikir Nami-ssi sudah sangat lama bekerja dengan kami, Nami-ssi juga
sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.”
“Nde, aku jadi sedih Nami-ssi mau
pergi dari sini.” Iljung menimpali, memasang ekspresi yang benar-benar sedih
karena kehilangan seseorang.
“Ah.. Kamsahamnida, aku akan
bekerja lebih keras lagi. Aku juga akan berkunjung ke sini jika ada kesempatan.
Kamsahamnida.” Nami tersenyum tipis.
...
“Aku titip surat ini untuk
Jooyoung, boleh? Dan ini untuk Minseok.” Bisik Nami pada Iljung. “Tolong ya,
oppa. Terimakasih sebelumnya, aku pergi dulu! Annyeonghaseyo—“
Sang gadis menoleh ke sana sini
sebelum akhirnya memilih untuk mempercepat kepergiannya, lambaian tangan
sekilas pada Iljung mengakhiri kisahnya bekerja di cafe ini. Entahlah, apa ini
keputusan terbaik dari yang terbaik. Nami pun hanya bisa bernapas lega,
setidaknya beban mereka berkurang dengan tidak adanya sosok Nami.
**
Teruntuk: Ahn Jooyoung
Aku tahu— aku merupakan sumber dari masalah kalian berdua, maaf
bila aku terlalu banyak berbicara dan bertingkah. Seperti katamu, aku akan
menjauh dari kehidupan Minseok— dan juga dirimu. Aku tidak ingin
menghancurkan pertemanan kalian, karena itu aku memilih untuk meninggalkan
Seoul hari ini.
Dan terima kasih sudah memberikan hak kerja itu lagi pada Minseok,
aku harap kau dan Minseok berbahagia selalu.
Tertanda,
Kang Nami
|
Teruntuk: Han Minseok
Aku minta maaf tidak memberitahumu soal ini, aku berencana membuka usaha
sendiri setelah meninggalkan pekerjaanku. Maaf juga karena aku tidak bisa
membalas perasaanmu, aku hanya bisa menerimamu sebagai sahabat. Aku harap
kau mengerti.
Tetapi sekali lagi maaf, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku
mungkin tidak akan kembali lagi ke Seoul, dan tidak akan bertemu lagi
dengan kalian berdua. Aku hanya berharap, kau bisa menjaga pertemanan
dengan Jooyoung sampai kapanpun.
Terima kasih atas segalanya.
Tertanda,
Kang Nami
|
**
Detik berjalan begitu cepat, sosok
Nara yang telah tumbuh dewasa membuat dirinya mengerti bahwa ada sebuah
pengorbanan harus dilakukan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Nami kini
sudah memiliki usaha rumah makan yang tergolong besar, memiliki banyak pegawai
yang setia bekerja dengannya. Sudah tiga tahun lebih Nara dan Nami memisahkan
diri dari suasana kota Seoul, juga dari orang-orang yang pernah singgah dalam
hidupnya.
“Eonni, apa kau tidak merindukan
Minseok oppa dan Jooyoung oppa? Apa kau tidak penasaan bagaimana kabarnya?”
Tanya Nara polos seraya menggerakkan penanya di atas kertas berwarna miliknya.
“Apa yang kau bicarakan, sih?
Sudahlah lebih baik kerjakan tugasmu, setelah itu bantu eonni-mu ini menghitung
pendapatan dan pengeluaran bulan ini.” Sahut Nami ringan, walau dalam benaknya
terselip ribuan tanya bahkan jutaan mengenai dua pria yang tidak pernah ia
temui lagi itu.
“Heish— iya iya.”
Siapa yang tahu kalau sebenarnya
seorang Kang Nara yang cerdas itu masih berhubungan dengan kekasihnya di Seoul,
ya— Nara masih sering bertukar informasi menggunakan surat ataupun aplikasi SMS
dan sebagainya. Kekasih? Tentu saja, Hansung masih menyandang status sebagai
kekasih tanpa Nami ketahui. Bahkan Nara sering bertemu dengan Hansung di suatu
tempat hanya untuk menanyakan kabar satu sama lain.
Memang sempat terpikirkan oleh
Nami, mulai dari ‘Bagaimana kabar mereka?
Bagaimana keadaan cafe tanpa dirinya? Apa aku harus merindukan mereka?
Bagaimana jika aku kembali, semuanya terjadi lagi seperti tiga tahun lalu?’
— Pertanyaan itu terus mengelilingi pikirannya tanpa diminta sekalipun, entah
apa yang menjadi masalah kali ini.
Sampai pada akhirnya terbersit
sebuah ide, siapa lagi kalau bukan idenya Nara dan Hansung? Mereka harus
membuktikan pada Nami bahwa kedua pria Seoul yang sedang dipikirkannya itu
sudah berubah 180 derajat.
“Nami eonni, besok ada waktu?”
Nara tersenyum lebar, sementara sang kakak hanya bisa menatap Nara penuh tanya.
EPILOG
Kebahagiaan itu nyata, takdir itu
penentu dari siapa menjadi siapa dan apa menjadi apa. Perbedaan bukanlah
penghancur, justru dengan adanya perbedaan itulah seseorang dapat melengkapi
seseorang lainnya. Hitam dan putih, pahit dan manis, gelap dan terang; semua
itu hanyalah simbol yang tidak dapat diukur dengan nilai kepribadian seseorang.
Semua itu tergantung perspektif, mana yang menurutnya benar dan mana yang
menurutnya salah.
Tawa, canda, gembira, seakan
berbaur menjadi satu. Nyatanya si penyuka kopi dapat mencicipi rasa manis dari
susu, dan sebaliknya; si penyuka susu juga dapat mencicipi bagaimana rasa pahit
dari kopi. Sekali lagi, semua itu tergantung perspektif. Bagaimana seseorang
berpikir jernih dalam menyelesaikan suatu masalah.
Dan— cinta itu benar adanya,
tetapi persahabatan lebih erat kaitannya dengan kehidupan. Terkadang seseorang
harus melihat dari sudut pandang berbeda, tidak selalu melihat sisi negatif
orang itu, melainkan sisi positif yang jarang dijadikan acuan dalam menjalin
persahabatan.
*
“Yaaa— jadi selama tiga tahun ini kalian
masih berpacaran? Aigooo adikku sudah pandai berakting rupanya, heish— kenapa
aku bisa tidak tahu..?”
“Minseok-ah! Ayo kita taruhan siapa yang
paling cepat menghabiskan ramyun ini, dia lah yang akan mencium pipi Nami.”
“Yaaaa! Aku tidak akan mau, dasar kalian!
Hadiahnya makan siang gratis di sini saja ndeeeee.”
“Paboyaaa, jangan curang kau Jooyoung-ah!
Aku tidak terima!”
“Eonni, benar kan— kau merindukan mereka?”
***
0 komentar:
Posting Komentar