MONSTEEN - BACK 2 0

Senin, 04 Juli 2016

[ WMFF: 1ST WINNER ] - Different Things (@hxtstuff)

Halo! Malam ini WM Entertainment akan mengumumkan juara WM Fanfiction Festival yang digelar beberapa hari yang lalu dalam rangka memperingati satu tahunnya WM Entertainment. Yuk, mari dibaca ff Different Things karya @hxtstuff yang berhasil menjadi juara pertama!~ Selamat! :)

***


“Different Things”
[Romance, Drama, Friendship, Life, Angst]

Cast:

Jack LeeasAhn Jooyoung : Pria 24 tahun, penerus Hanshin Hospital, sifatnya yang sombong dan menganggap semuanya mudah, banyak wanita yang mengincar dirinya karena uang.

Jo KyungsooasHan Minseok: Pria 24 tahun, dokter ahli bedah di Hanshin Hospital, hangat, orang kaya yang serba berkecukupan namun selalu rendah hati dan berpenampilan sederhana.

Nam RisaeasKang Nami: Gadis 23 tahun, sederhana, bekerja di sebuah cafe demi menghidupi dirinya dan membiayai sekolah adiknya karena mereka sudah tidak memiliki orangtua.

Jo KyungriasKang Nara : Gadis 18 tahun, sekolah di SOPA karena kepintarannya; bukan karena memiliki uang yang banyak, ceria dan mudah didekati, pacar Hansung, adiknya Nami.

Aiken ParkasGo Hansung : Pria 20 tahun, kuliah di Yonyi University, memiliki masa lalu yang kelam dengan Minseok, pacar Nara.

Cameo:

Han YeojinasLee Yeojin: Kakak tiri dari Jooyoung yang diusir dari rumah ayah Jooyoung karena suatu hal, pemilik bar&cafe yang dibangun bersama suaminya Park Yoojung.

Bilhuda Kim asPark Yoojung: Suami Yeojin, keras kepala dan pemarah.

Boo HyongranasPark Iljung: Adik Yoojung, memiliki sifat berbanding terbalik dengan kakaknya, selalu melindungi Nami dari amarah Yoojung.

Yoo Hanna asYoo Mina: Senior tercantik yang disukai hampir satu kampus Yonyi, tipenya adalah Go Hansung.

Jeon YoonwooasKim Shinwoo: Sahabat Nara dan Hyeri, satu sekolah dengan Nara di SOPA.

Emily parkasNam Hyerin : Sahabat Nara dan Shinwoo, satu sekolah dengan Nara di SOPA.

Shon JooyoungasLee Kyuyoung : Sahabat Han Minseok yang selalu mendukung apa keputusannya, menyukai Ahyoung diam-diam.

Irene Kim asJung Eunbi: Gadis pendiam, memiliki dua kepribadian (sisi baik dan buruk), pekerja magang jurusan Kedokteran sebagai asisten Minseok di Hanshin Hospital, menyukai Minseok diam-diam sehingga tidak menyukai siapapun yang mendekati Minseok.

Lee Ryumi asAhn Ahyoung: Adik dari Jooyoung, sifatnya penggoda, banyak pria yang didekati namun tetap setia mengejar Han Minseok, membenci seluruh wanita yang mendekati kakaknya hanya karena uang.




PROLOG

Orang bilang, sesuatu terjadi karena keajaiban. Mungkin pepatah itu tidak seluruhnya benar. Terkadang sesuatu itu terjadi karena usaha yang dilakukan, seberapa besar pengorbanan untuk mencapai tujuan itu. Pengorbanan itulah yang akan menjadi hadiah terindah melebihi apapun. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah keajaiban seringkali membawa keberuntungan, bahkan menyatukan sebuah perbedaan yang terbilang mustahil untuk disatukan.

Satu hal yang harus diyakini. Hukum alam itu nyata, seberapapun besarnya usaha yang dilakukan, hukum alam tetap akan berlaku sampai kapanpun.


***

“Kau itu bodoh, untuk apa permainan jelek seperti itu?
“Tidak ada yang menyukaimu!”
“Pulang saja lah, kau tidak dibutuhkan di sini! Dasar sok pintar!”
“Apa kau lihat-lihat? Kerjakan saja urusanmu sendiri!”
“Yaa! Hansung-ah! Minta maaf lah pada Minseok hyung! Karena ini semua salahmu!”

“Minseok-ah, kau yang terbaik. Aku rasa ayahmu akan bangga padamu sekarang.”
“Minseok oppa~ Minseok oppa~ Mau makan siang bersama?”
“Minseok-ssi, selamat ya! Kau mendapat peringkat tertinggi di kelas.”

NGIIIING.“Argh—“

“Hansung oppa? Gwaenchana? Ada apa? Apa oppa sedang sakit?”

Hansung masih saja memegangi kepalanya yang berdenyut, ‘Kenangan itu.. Kenapa selalu muncul di saat seperti ini..?’

“A-aniya, aku tidak apa-apa. Sebentar lagi juga sembuh, hanya pusing sedikit.” Hansung tersenyum, kemudian mengusak kepala sang gadis dengan gemas. Hansung menautkan jemarinya pada Nara; sudah hampir satu tahun mereka menjalani hidup sebagai sepasang kekasih.

“Arra~ Kajja, kita sudah terlambat!” Nara tersenyum lebar seperti biasanya, mengajak Hansung untuk mempercepat langkahnya masuk ke dalam bus.

Usia yang terpaut tiga tahun dan tujuan perjalanan yang setiap harinya berbeda tidak menghalangi kisah cinta mereka berdua. Ya, begitulah hubungan. Tergantung bagaimana dua insan tersebut membuatnya semakin erat.
**
PYAAARR!

“Maafkan aku, aku tidak sengaja. Sungguh, maafkan aku Tuan.”

Seorang gadis berperawakan sedang tengah membungkuk berkali-kali pada salah satu pengunjung cafe, ia tidak sengaja menumpahkanair kopi ke seorang pria berjas putih. Untung saja pecahan cangkirnya tidak mengenai siapapun. Gadis tersebut terus saja berusaha membersihkan noda hitam kecoklatanyang sangat terlihat dengan beberapa helai tisu.

“Ya! Apa kau tidak melihat ada orang sedang duduk di meja ini? Haish— pelayan macam apa kau? Kenapa bisa-bisanya diterima di cafe seperti ini?!”

                Mendengar teriakan dari sang pria, seseorang yang tak lain adalah pemilik cafe menghampiri dan mengklarifikasi apa yang terjadi.

“A-Ahn Jooyoung? Apa yang terja—“ Ucapannya terhenti begitu melihat kecerobohan yang dilakukan Nami. “Nami-ah, apa yang kau lakukan? Kenapa ceroboh sekali?! Cepat bersihkan ini dan pergi ke dapur!”

“N-nde..” Sahut Nami yang langsung melakukan apa yang diperintahkan Park Yoojung; pemilik cafe yang menurutnya sangat galak untuk ukuran pria seusianya.

“Sudahlah, aku bisa kembali ke kantor dan menggantinya. Aku harap lain kali, pelayan amatir ini tidak mengulangi kesalahannya lagi. Lagipula kau bisa mempekerjakan orang lain yang lebih baik dari dia.”

Nami menggigit bibir bawahnya, sedikit mendongak melihat tatapan dingin milik pria yang sudah menjatuhkan harga dirinya itu. Kembali ia menundukkan pandangannya, sedetik kemudian ia berdiri membawa pecahan-pecahan kaca yang sudah ia kumpulkan dan pergi menuju dapur meninggalkan dua pria tersebut dengan napas memburu; kesal.

Seringai samar muncul di wajah dingin Ahn Jooyoung, setelahnya ia pun ikut pergi meninggalkan cafe tempat kakak tirinya bekerja; yang merupakan istri dari Park Yoojung.

“Lima.. Empat.. Tiga.. Dua..”

“YA! KANG NAMI!” Pekik Yoojung sambil melangkah lebar menuju dapur tempat Nami berada.

“Yeobo, tidak usah berlebihan. Nami sudah meminta maaf pada Jooyoung ‘kan? Jangan memperpanjang masalah dengan berteriak seperti itu, tidak enak dengan pelanggan kita. Haish—“ Ujar sang istri yang sedaritadi hanya bersembunyi di balik dinding.

“Tidak usah ikut campur! Aku akan memberi hadiah untuknya!”

“N-nde, maafkan aku. Tadi itu tidak sengaja, ada seseorang yang sengaja membuatku jatuh.” Sahut Nami meluruskan, tentu saja karena ia ingin membela dirinya sendiri.

“Mwo? Siapa? Siapa yang membuatmu terjatuh? Hahaha, berusaha mencari alasan? Ini sudah kedua kalinya kau membuat keributan dengan pelanggan. Dan kami sudah cukup bersabar!”

“A-aku mohon beri aku kesempatan, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sungguh-“

“Ya- hyung, sudahlah. Dia sudah berjanji tidak akan mengulanginya, lagipula hyung juga sudah berjanji akan mempekerjakan dia selamanya kan? Itu yang hyung katakan pada ibunya dulu kan?” Iljung berdiri di sebelah Nami, merangkul Nami dengan mudahnya. Memang adik Yoojung yang satu itu selalu membela Nami, bahkan selalu melindungi Nami dari amarah kakaknya.

“Baiklah baiklah, kau harusnya bersyukur aku sedang dalam mood baik hari ini. Kalau begitu kembali bekerja. Cepatlah, pengunjung semakin banyak.”

Nami membungkuk dan meminta maaf untuk yang ke sekian kalinya, ke arah Yeojin maupun suaminya. Termasuk Iljung yang ada di sebelahnya. “Kamsahamnida..” Ya, hanya kata itu yang daoat diucapkan oleh Nami.

‘Pelayan amatir? Dia pikir dia siapa? Tuhan? Seenaknya saja merendahkan orang lain.’ Batinnya berbicara. Tentu saja kalimat yang pria itu ucapkan sudah sangat menyakitkan hatinya, Nami sangat berharap tidak akan bertemu dengan pria itu lagi. Dimanapun dan kapanpun.
**
“Jooyoung oppa? Ada apa dengan jasmu? Kenapa kotor begitu?”

“Pertanyaan bodoh macam apa, hah?” Seringaian di wajahnya mengakhiri pertanyaan retorisnya pada sang adik.

“Ya— adikmu ini kan hanya bertanya. Bagaimana mau punya pacar kalau dingin begitu?”

                Jooyoung meraih jas lain miliknya yang tergantung di tempat biasa, “Apa urusanmu? Aku bukan Ahyoung yang bisa dengan mudahnya memiliki pacar, apalagi memainkan pacar sendiri.”

Gadis bernama Ahn Ahyoung itu berdecak kesal, memutar kursi yang disinggahinya lalu dengan cepat berdiri menghampiri Jooyoung; menendang tulang kering milik sang pria dengan santainya. DUG!

“Heish— sudahlah aku ingin pergi saja. Lebih baik mengajak bicara pria tampan di ruangan sebelah daripada berbicara denganmu!”

Jooyoung yang masih meringis kesakitan memilih untuk diam dan membiarkan sang adik pergi dari hadapannya; Jooyoung bukan tipe orang yang suka berdebat, asal kalian tahu.

**

Ahyoung melangkahkan kakinya menuju ruangan seorang dokter ahli bedah yang sudah menjadi incaran utamanya sejak lama; Han Minseok.

“Eunbi-ya, bisa tolong ambilkan map itu? Apa kau sudah mendata ada berapa pasien yang seminggu ini aku tangani?”

Suara berat milik sang dokter membuat gadis yang menjabat sebagai asistennya itu tersenyum samar, “Ah nde, aku sudah mendata semuanya. Apa ada yang bisa aku bantu lagi?”

‘Jung Eunbi, yaa! Perhatikan jarakmu dengan dokter Han!’Ahyoung membatin. Bukannya masuk ke dalam, Ahyoung malah mengintip dan menguping pembicaraan antara Han Minseok dan Jung Eunbi yang merupakan asisten dokter.
“Tidak ada, kembalilah bekerja. Aku akan kembali sepuluh menit lagi.” Ujar Minseok dengan senyum ramah di wajahnya yang dapat membuat siapapun bahagia jika salah mengartikannya; termasuk asistennya sendiri.

Tangan besar milik Minseok terulur; bergerak memutar knop pintu, pintu pun terbuka dan—

BRUK!

“A-ah, dokter Han. M-mau kemana? Sedang sibuk?” Ahyoung buru-buru kembali pada posisinya; salah tingkah. Sementara Eunbi menatap sinis Ahyoung, Ahyoung pun menyadari hal itu namun ia mengabaikannya.

“Oh? Kau— Ahyoung-ssi? Mau menemui pasienku. Jika ada sesuatu, biarkan Eunbi membantumu nde? Aku pergi dulu, annyeong..”

Ahyoung terbelalak kaget, dengan cepat ia menyusul Minseok yang mulai berjalan melewati lorong. “A-ah anu, dokter Han! Aku ingin konsultasi tentang keadaanku, bisakah?”

Minseok menghentikan langkahnya, “Nanti? Sepuluh menit, aku akan kembali. Kau bisa tunggu di ruanganku, nde?” Ujarnya lembut, sebelah tangannya terulur di lengan Ahyoung. Lagi-lagi membuat Ahyoung salah mengartikannya.

‘Apa dia mulai menyukaiku?’ Dengan perasaan berbunga-bunga, Ahyoung mengangguk dan berlari kecil menuju ruangan Minseok.

Baiklah, bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya di dalam ruangan itu. Adu mulut pun terjadi, Ahyoung dan Eunbi; sama-sama berusaha menyingkirkan satu sama lain, siapa yang bertahan ialah pemenang hati Han Minseok.

**

Lain tempat, lain suasana. Universitas Yonyi selalu ramai seperti biasa. Go Hansung pun sudah terbiasa dengan hal itu, termasuk dengan kelakuan salah satu senior jurusan Seni yang terus mendekatinya tanpa rasa malu sedikitpun.
“Go Hansung~”

‘Ada apa dengannya? Aku ini madu baginya atau apa, heish—‘

Yang dipanggil hanya diam tak berkutik, menoleh pun rasanya tidak ingin. Sejujurnya ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Apalagi di tempat ini banyak sekali mahasiswa yang pacaran.

“Hansung-ah~”

“Ah, nde sunbaenim.” Hansung tersenyum tipis, masih terus melahap kimbap segitiga yang akhir-akhir ini menjadi teman makan siangnya.

“Kau hanya memakan kimbap itu untuk makan siangmu? Ah jinjja— aku kan bisa mengajakmu makan siang bersama tadi, bahkan aku bisa mentraktirmu makanan yang lebih enak daripada kimbap segitiga yang ada di tanganmu itu.”

‘Pergilah Yoo Mina, aku ingin makan siang dengan tenang. Jebal.’

“Apa kau ingin aku pergi?” Mina merengut, mendudukkan diri di sebelah Hansung dengan tatapan sedihnya.

“A-ani sunbaenim, aku yang akan pergi setelah menghabiskan makananku ini.”

“Mwo? Oh ayolah, kelas masih lama bukan? Dan sepertinya setelah ini kita ada di dalam satu kelas yang sama. Bukankah begitu?”

“UHUK! UHUK! Aku rasa- UHUK- iya- UHUK!”

“Astaga— kau baik-baik saja Hansung-ah? Minum ini, cepat. Kalau tidak kau bisa tersedak lagi.”

“Aniya, a-aku ke kelas duluan nde sunbaenim. Ada tugas yang harus aku selesaikan. UHUK!” Hansung buru-buru bangkit dari duduknya, membawa sisa kimbapnya dan berlari secepat kilat menuju toilet; sepertinya ia ingin muntah sekarang. Bukan karena seniornya, tapi karena kimbap yang tersangkut di kerongkongannya.

...

“Heish, sunbae gila. Bagaimana bisa dia mengikutiku terus seperti itu? Mau sampai kapan, astaga. UHUK UHUK!”

Cling. Layar ponsel menyala, menampilkan popup pesan dari sang kekasih; Kang Nara.

“Oh? Pulang cepat? Traktir?” Maniknya berbinar saat membaca rentetan kalimat yang ditujukan padanya. “Aku rasa aku bisa membolos sekali, lagipula absenku masih full jadi tidak masalah!”

**

“Nara-ya, dimana pacarmu itu? Kenapa lama sekali, eh? Aku sudah sangat lapar, lihat- kau dengar suaranya?”

TUK! Kepalan tangan Hyerin mendarat di atas kepala Shinwoo, “Yaa! Sabarlah sedikit, jangan berisik.”

Nara hanya bisa terkekeh melihat kelakuan dua sahabatnya; Kim Shinwoo dan Nam Hyerin. Memang mereka tidak dapat dipisahkan. Hari ini mereka akan pesta daging di salah satu cafe yang berada dekat dengan Hanshin Hospital.

“Omo— itu dia pacarmu Nara-ya.”

“Nde.” Sahutnya dengan sebuah anggukan pada Hyerin. “Oppaaa!” Lambaian tangannya terlihat bersemangat, membuat Hansung tersenyum lebar dan berlari menghampiri mereka bertiga.

“Oppa tidak ada kelas memangnya? Bukannya ada, ya?”

Hansung menggeleng, ia mengusak kepala sang gadis dan tersenyum tipis. “Tidak, kajja! Omong-omong siapa di antara kalian yang mau traktir? Kkk pasti sedang berulangtahun ya?”

“Hyerin noona, dia berhasil mendapatkan nilai matematika tertinggi di sekolah. Hebat kan hyung? Siapa dulu aku yang mengajarinya~”

“Mwo? Apa maksud perkataanmu barusan? Ya— kau bisanya minta traktir saja, mana pernah kau mengajariku? Heish, yang benar saja Shinwoo-ya.” Kepalan tangan Hyerin kembali mendarat di atas kepala Shinwoo dengan mulusnya.

“Hahaha, Shinwoo-ya. Mungkin besok giliranmu yang harus traktir kita bertiga.” Hansung tertawa puas, membuat ketiganya ikut terbahak.

**

“Hyung, apa kau hari ini bertemu dengan Ahyoung noona?”

“Uhm—hari ini sudah tiga kali aku melihat wajahnya. Dan cukup membosankan.” Minseok menyesap susu hangat berperisa vanilla kesukaannya.

“Jinjja? Ya— apa dia semakin cantik? Aku ingin sekali bertemu dengannya lagi, hyung.”

Sang pria dengan secangkir susu yang berada dalam genggamannya itu terkekeh pelan, “Kyuyoung-ah, kau bisa menemuinya kapanpun kau mau. Dia selalu datang ke ruanganku setiap pagi pukul sembilan, asal kau tahu.”

“Wah daebak, sepertinya dia sangat menyukaimu hyung. Ah, padahal sayang sekali jika gadis cantik seperti itu hyung abaikan.” Pria yang akrab disapa Kyuyoung itu berdecak, merasa bahwa dunia ini tidak adil. Mengapa harus Han Minseok yang disukai Ahyoung? Mengapa bukan dirinya?

“Sudahlah, habiskan makananmu. Aku ingin memesan kopi lagi untuk Eunbi, tunggu sebentar di sini.” Minseok bangkit dari kursinya.

...

“Karena udaranya dingin, aku akan memesan susu hangat untuk kalian semua. Di sini kebanyakan menunya berbahan dasar susu, unik ya? Apalagi kita akan berpesta daging, pasti akan ada banyak kolesterol yang bersarang di tubuh.” Ujar Hyerin pelan. “Selebihnya kalian bisa pesan minuman lain, setuju?”

“Ah ndee noona, terserah saja karena aku menyukai susu.” Sahut Shinwoo dengan senang hati.

Nara mengangkat sebelah tangannya tanpa ragu, jelas saja— itu semua karena kakaknya lah yang bekerja menjadi pelayan di cafe ini.

“Yaa! Nara? Tumben sekali kalian datang ke sini.” Bisik Nami setelah sampai ke meja mereka, terkejut bukan main melihat kedatangan sang adik bahkan Nara juga membawa teman-temannya.

“Eh? Kalian saling mengenal?” Tanya Shinwoo Heran.

“Ini Kang Nami noona, kakaknya Nara. Mirip kan? Tapi jelas saja, Nara yang lebih manis. Benar kan noona?” Hansung melirik ke arah Nami dan tersenyum lebar; mengusak rambut Nara.

“Aih dasar, terserah kau saja.” Nami berdecak, memukul pelan lengan Hansung sebagai balasan. “Jadi, kalian mau pesan apa?”

...

“Eh eh eh—“

‘DEG’

‘Tangan hangat itu.. menyentuh lenganku. Siapa..? Apa aku terjatuh? Apa ada cangkir yang pecah lagi?’
               
                Nami membuka matanya, nampan itu masih berada di tangannya— namun... sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi lagi, persis seperti sebelumnya. Bedanya, tidak ada cangkir yang pecah.

“A-ah maafkan aku, maafkan aku..” Nami membungkuk berkali-kali dan tentunya meminta maaf, entah bagaimana reaksi sang atasan setelah ini.

“Eo? A-aniya, tidak apa-apa. Hanya susu dan ini bukan masalah besar, jangan khawatir. Tapi apa kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat.”

                Nami terdiam, menatap mata hangat itu dalam diam. Ia terselamatkan karena pemuda di hadapannya yang telah membantunya hingga ia tidak sampai terjatuh dan memecahkan cangkir lagi. Untuk sepersekian detik lamunannya tersadar, mengingat banyak pasang mata yang memperhatikan kesalahpahaman ini.

“Aku baik-baik saja. Eung— biar aku bersihkan kemejamu.” Nami sontak mengambil sebuah sapu tangan bersih dari kantung celemeknya, dan mengusapkannya pada kemeja sang pemuda.

                “Tidak usah, aku bisa sendiri. Kembalilah bekerja.” Sang pria tersenyum manis, sangat manis. Kemudian mengambil sapu tangan milik sang gadis dan melakukannya sendiri pada kemejanya. Atensinya menatap sepasang mata yang redup di sana. ‘Mungkin gadis itu kelelahan atau mungkin ada sesuatu yang dipikirkan? Tapi, apa urusanku? Ah sudahlah.’

“Kamsahamnida— sekali lagi aku minta maaf.” Nami membungkuk untuk yang terakhir kalinya, terlalu gugup untuk membalas senyuman pria itu. Langkahnya pun dengan cepat membawa dirinya ke dapur untuk mengganti secangkir susu yang tumpah di nampannya tadi.

Tanpa sadar arah pandangnya mengikuti kemanapun Nami berada, ‘Kang Nami, jadi namanya Kang Nami?’Ya, tanpa sadar dan tanpa sengaja pula atensinya membaca huruf yang ada pada nametag milik pelayan cafe itu.

“Yaa- hyung! Kenapa melamun saja? Lihat pakaianmu jadi kotor begitu. Aish— pelayan itu kenapa ceroboh sekali.”

Minseok terkekeh samar, “Tidak masalah, tumpahnya tidak banyak kok. Kajja, aku tidak mau Eunbi menungguku terlalu lama karena ini sudah selesai jam makan siang. Kopinya juga nanti keburu dingin.”

**

Beberapa hari berlalu, Kang Nami; seorang pelayan cafe yang terus dilanda masalah keuangan membuat dirinya harus giat bekerja. Namun semenjak kehadiran...

“Masih betah bekerja di sini, Nami-ssi?” Jooyoung menaikkan salah satu sudut bibirnya membentuk seringaian, ya- seringai dingin itu lagi. “Kau pasti bosan ya melihatku setiap pagi selalu ke sini?”

“Eo? Tidak sama sekali. ‘Karena aku tidak peduli.’Americano favoritmu, selamat menikmati.” Ujar Nami dengan senyum sepersekian detik yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata.

“Wae? Kenapa sikapmu selalu seperti itu setiap datang ke mejaku? Apa aku sebegitu menyebalkannya sampai menatapku saja tidak mau.”

‘Nde! Tentu saja kau sangat menyebalkan! Sok dingin, sok perhatian, suka merendahkan orang lain! Aku sangat bosan melihatmu, Jooyoung-ssi!’

“Apa aku terlihat aneh? Aku hanya mengerjakan apa yang harus aku kerjakan, jadi— apa tindakanku salah?” Nami menunjukkan senyum sewajarnya, tidak tahu saja apa yang tengah ia bicarakan dalam lubuk hatinya tentang pria dingin dengan Americano di mejanya itu.

“Begitu ya—“

“Nde. Permisi, aku akan kembali bekerja. Aku akan menemuimu nanti malam, tunggu aku jika tidak ingin menyesal.” Ucap Jooyoung dengan santainya sambil menyesap kopi kesukaannya; tanpa melihat ke arah Nami.

Gadis yang hendak melangkah meninggalkan meja sang pria, berbalik sekilas. ‘Mwo? Naega? Untuk apa aku memenuhi permintaanmu itu?! Aish— terserah saja lah.’Nami kembali memalingkan wajahnya dan pergi menjauh; melanjutkan pekerjaannya.

‘Baiklah, kau harus bertanggung jawab karena telah membuatku penasaran sampai seperti ini.’ Jooyoung menyeringai (lagi) menatap punggung Nami yang mulai menjauhinya.

KRING!

Lonceng berbunyi menandakan ada pengunjung lagi yang memasuki cafe tempat Nami bekerja, dengan sigap sang gadis membawa buku menu dan membawanya menghampiri pengunjung tersebut.

‘Pria itu— apa aku pernah melihatnya? Rasanya wajahnya tidak asing.. Tapi dimana aku bertemu dengannya?’

“Oh, Minseok-ah! Tumben sekali berkunjung ke sini?” Jooyoung tersenyum lebar; menepuk bahu sang pria yang bekerja sebagai dokter ahli bedah di Hanshin Hospital.

“Nde, pagi ini aku bisa sedikit bersantai.” Minseok terkekeh sekilas.

Kang Nami yang membawa buku menu dan catatan menormalkan langkahnya yang sempat terhenti karena mendengar percakapan kedua pria di meja yang sebelumnya ia datangi; tempat dimana Ahn Jooyoung duduk.

“Selamat pagi, ada yang ingin dipesan?” Tanya Nami dengan nada ramah seperti biasa, sejujurnya ia benar-benar lupa siapa pria yang duduk satu meja dengan Jooyoung.

“Ah nde, aku pesan secangkir susu vanilla dengan caramel. Tanpa gula.”

“Baik, silahkan menunggu.”

Lagi-lagi atensinya tanpa sadar menatap Nami kemanapun ia pergi, hal itu membuat Jooyoung mengerutkan keningnya. “Ada apa? Kau menyukainya? Heish- dia itu gadis yang tidak tahu sopan santun, kau tidak tahu saja Minseok-ah.”

“Eh? Dia? Memangnya dia sudah berbuat kesalahan apa padamu sampai kau bisa berkata seperti itu?”

Jooyoung memelankan suaranya, “Dia sudah mengotori jasku dengan kopi, ah- dia sangat menjengkelkan karena sudah merusak moodku di hari itu.”

Minseok dengan polosnya tertawa, “Tidak usah berlebihan, beruntung bukan wajahmu yang terkena kopi panas itu. Lagipula aku rasa di hari itu pelayan itu sedang sakit, wajahnya pucat sekali-- apa kau memperhatikannya? M-Maksudku, siang itu aku berkunjung ke cafe ini dan dia melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padamu.”

“Yaa— apa dia menumpahkan sesuatu ke pakaianmu? Heish jinjja- sepertinya itu sudah menjadi kebiasaannya.”

“Hmm begitulah, dia menumpahkan susu ke kemejaku. Tapi aku tidak berlebihan sepertimu waktu itu, karena aku pikir dia sedang sakit— jadi ya aku tidak mempermasalahkannya.” Ucap Minseok dengan entengnya.

“Permisi, ini pesananmu. Susu vanilla dengan caramel, tanpa gula. Silahkan menikmati.”

“Tunggu.. ah apa kau mengingatku Nami-ssi?” Minseok tanpa ragu menanyakan hal itu pada Nami, hingga membuat Nami sedikit- salah tingkah?

“Ani— maksudku.. Kau ingat kejadian waktu itu, saat kau menumpahkan susu ke pakaianku?”

Maniknya membulat, Nami hampir sesak napas begitu mengingat kejadian buruk itu. “N-Nde, aku sudah minta maaf dan— bagaimana Tuan mengetahui namaku?”

Minseok menunjuk nametag yang dipakai Nami dengan dagunya, “Kang Nami..”

“A-Ah ini, benar. Aku sampai melupakannya.” Nami terkekeh pelan; salah tingkah sambil menyentuh nametag dengan sebelah tangannya.

“Minseok-ah, kau mau dia dihukum lagi karena melalaikan pekerjaannya? Dia memang gadis yang ceroboh, tidak usah membuang-buang waktu dengannya.” Protes Jooyoung pada Minseok.

Nami hanya bisa menghela napas melihat tingkah laku pria bernama Ahn Jooyoung itu, sungguh, ia sangat ingin memukulnya habis-habisan jika ia tidak ingat bahwa dirinya adalah pelayan di cafe milik kakaknya.

“Kalau begitu aku permisi dulu.” Nami memutar tubuhnya dan menjauhi meja mereka dengan perasaan kesal.

“Tung— Heish, kau ini.”

“Yaa! Apa kau tertarik dengannya? Apa menurutmu dia manis? Atau cantik? Hanya orang bodoh saja yang melihat pelayan itu cantik ataupun manis. Ah sudahlah, aku duluan! Ada rapat yang harus ku hadiri.” Jooyoung menyesap sisa kopinya, lalu meninggalkan Minseok seorang diri.

‘Bodoh, mana mungkin aku menyukainya?
**

‘Untuk apa aku datang? Bisa-bisa khilaf nanti malah memukul wajahnya sampai babak belur, lalu aku dituntut, dipecat, setelah itu masuk penjara. Aish, aku tidak akan menemuinya malam ini! Aku harus cepat pulang.. Ayo Nami, cepat selesaikan ini lalu pulang ke rumah.’

‘Dia belum datang kan? Syukurlah, misiku berhasil! Hahaha—‘

“Nami-ssi! Yaa! Mau kemana? Aku di sini!” Jooyoung melangkahkan kakinya dengan santai menghampiri Nami, sang gadis hanya bisa berhenti dan terdiam.

‘Oke kali ini aku gagal, tapi— masih ada waktu melarikan diri bukan? Hana.. Dul.. Set!’

WUUZZZ..

‘Jangan berbalik, tenang saja dia tidak akan mengejarmu Nami-ah..’

“Apa-apaan dia, berlari meninggalkanku begitu saja. Mau mati rupanya. Kalau begini, aku yang menyesal jika minta maaf padanya. Dasar gadis bodoh.” Gerutu Jooyoung.

...

‘Hosh— jinjja, apa dia psikopat? Berani membuat janji pada orang yang sudah ia rendahkan harga dirinya? Aku pikir hal itu hanya ada di film-film saja. Tck—‘Nami mencoba mengatur napasnya.

“Pria itu benar-benar tidak tahu malu—“

“Eoh? Siapa yang tidak tahu malu? Apa ada seseorang yang mengejarmu barusan, eonni?”

“Mwo? Yaa—! Nara-ya, kenapa baru pulang jam segini? Dimana Hansung? Apa dia membiarkanmu pulang ke rumah sendirian selarut ini? Kenapa kau tidak memberitahuku, eh?”

“Yaa eonni, jangan marah-marah dulu. Hansung oppa sedang membeli makanan dan minuman. Kita bisa makan malam bersama ‘kan?” Cengiran khas sang adik yang sangat menggemaskan itu berhasil menurunkan emosi Nami, beruntung ia memiliki Nara. Ya, sangat beruntung.

“Oh, noona sudah pulang? Kajja, di luar semakin dingin. Ayo, kakak ipar juga cepatlah masuk— jangan malah melamun di situ.” Hansung menarik lengan Nami; mengajaknya untuk masuk ke dalam rumah sederhana peninggalan keluarga bermarga Kang.

“Heish— apa maksudmu kakak ipar?!” Nami menjitak pelan kepala Hansung; kesal melihat tingkah laku Hansung.

**

“Yaa! Apa kau tertarik dengannya? Apa menurutmu dia manis? Atau cantik? Hanya orang bodoh saja yang melihat pelayan itu cantik ataupun manis.”

‘Apa aku termasuk orang bodoh itu? Bahkan dia terlihat baik, polos, dan juga sopan? Jadi siapa yang bodoh di sini? Astaga—‘

“Dokter Han? Apa ada masalah? Dokter Han—?”

“Oh? Eunbi-ya, aku hanya sedang memikirkan sesuatu. Sebaiknya kita ke ruang rapat sekarang.” Ujar Minseok pada Eunbi; asistennya.

“Ndee~” Eunbi menyahut disertai senyuman terbaiknya. ‘Jangan kira aku tidak mengetahui apa yang kau pikirkan Minseok-ah, pasti soal gadis lain? Iya kan? Atau jangan-jangan Ahyoung? Sudah kuduga—‘

‘Aku pasti sudah gila, kenapa wajahnya selalu muncul di pikiranku? Heish—‘Minseok memijit keningnya.

BRUG!

“M-Maafkan aku..” Ujarnya cepat ketika tahu dirinya menabrak seseorang, entah itu siapa. Ia pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

“Maaf? Astaga, apa yang sedang ia pikirkan sampai tidak melihat ini aku? Dasar, tck.” Jooyoung berdecak, ia memilih untuk tidak ambil pusing begitu melihat tingkah laku Minseok yang aneh tadi.

“Jooyoung oppa— ini untukmu. Eung.. apa nanti siang ada waktu?”

‘Apa lagi ini? Hadiah dari gadis yang sama sekali tidak aku kenal? Sulit juga menjadi pria tampan.’Jooyoung tersenyum simpul, menolak untuk menerima kotak berpita biru dari sang gadis.

“Maaf, aku sudah ada janji. Dan ini— mungkin bisa kau berikan pada ayahmu saja. Nde? Mian?”Jooyoung memilih untuk meninggalkan gadis tadi, terlalu menyeramkan jika diteruskan.

“A-Aku.. Yaa— Jooyoung oppa! Aku belum selesai bicara, aku akan meletakkan ini di ruanganmu! Heish— kenapa sulit sekali mendekatinya?!”

**

‘Yaa— Kang Nami.. Siapa yang kau pikirkan daritadi? Han Minseok? Oh, bahkan sekarang kau tahu namanya. Apa kau benar-benar gila? Lebih baik kau pikirkan bagaimana cara agar pria menyebalkan bernama Ahn Jooyoung itu tidak mengganggumu lagi, bahkan kalau bisa buat dia tidak datang mengunjungi cafe ini lagi!’

‘Aish— gila, aku rasa aku sudah gila.’

“Kang Nami, itu ada pelanggan kenapa masih diam di situ? Cepat bekerja, dan ingat— jangan membuat masalah. Mengerti?”

“Ah ndee.” Sahutnya pada Yeojin; kakak dari Jooyoung. ‘Baiklah, lupakan soal mereka— Minseok dan Jooyoung, ah siapapun mereka aku tidak peduli. Aku hanya perlu mengumpulkan uang yang banyak sekarang.’

                Gadis lulusan Manajemen Bisnis ini memang tidak beruntung, buktinya ia hanya mendapat pekerjaan menjadi seorang pelayan cafe sederhana. Entah nasib buruk apa yang menimpanya sejak kematian kedua orangtua karena kecelakaan. Nami berharap ia tetap bisa membiayai sekolah adik satu-satunya yang ia miliki, dan ia juga berharap bisa memiliki usaha sendiri setelah gaji yang ia kumpulkan cukup.

‘Aku pasti bisa melewatinya, hanya perlu bersabar beberapa waktu lagi. Fokus pada pekerjaanmu, Nami-ya.’

“Annyeong!”

“Mwo..? Kau lagi? Dan—“ Atensinya beralih pada seseorang di sebelah Jooyoung yang tak lain adalah Minseok. Ya, Han Minseok. “A-Annyeonghaseyo.”

“Yaa— apa-apaan yang tadi itu? Sangat tidak sopan, hormatilah semua pelanggan di cafe ini. Jangan hanya dia saja, tcih dasar pelayan amatir.”

“Jooyoung-ah, tidak perlu membuat keributan di sini. Ayo duduk.” Minseok mendorong Jooyoung pelan menuju ke salah satu meja dan duduk di sana.

KRING!

“Annyeong, noona~”

“Kalian, apa tidak ada tempat lain selain cafe ini? Dasar!” Lagi-lagi Nami menepuk kepala Hansung yang baru saja datang bersama sang adik; Nara.

SRET— ‘Mata itu.. Tatapan itu.. Han Minseok? Apa itu benar dia? Sudah berapa lama tidak melihat wajah sok polosnya, tapi— kenapa dia bisa di sini? Apa dia bekerja di dekat sini?’

‘Minseok yang terbaik! Kapan kau bisa seperti dia, Hansung-ah?’
‘Belajarlah dari Minseok, cita-citanya menjanjikan.’

“Argh— Nara-ya.. Kita cari tempat lain saja, aku sedang tidak ingin makan di sini. Nde?”

“Oppa gwaenchana? Nde, arraseo. Eonni, annyeong!”

Kedua insan itu pergi meninggalkan cafe, banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Nara sudah pernah menceritakan tentang sikap aneh Go Hansung, tapi Nami pikir itu hanyalah sakit biasa. ‘Apa mungkin—‘

Nami tanpa sengaja menoleh ke arah meja Jooyoung dan Minseok, sepasang mata hangat tengah memperhatikannya.

‘— Han Minseok? Apa mungkin ada hubungannya dengan mereka berdua?’

**

‘Siapa Han Minseok sebenarnya? Apa dia mengenal Hansung? Dunia ini begitu sempit, ya.’

“Boo!”

“Omo—!” Nami menarik napasnya dalam-dalam sambil menggerutu pelan karena terkejut dengan kehadiran pria yang tak lain adalah Park Iljung.

“Sedang memikirkan apa? Lihat, ada banyak pengunjung yang datang. Bukannya membantu temanmu yang kesulitan melayani mereka, malah melamun di sini. Apa ada masalah?”

Nami salah tingkah, “A-anu, aku sedang memikirkan sesuatu. Hanya masalah kecil.”

“Masalah kecil, ya? Kalau kau tidak keberatan, aku bisa mendengarkan masalahmu itu. Siapa tahu aku bisa membantunya. Hm?” Bukannya menggoda, Iljung memang terlalu baik menurutnya; sangat berbeda dengan sang kakak.

“Tidak perlu, aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Sahutnya sopan disertai kekehan pelan.

‘Drrt Drrt. Hansung— Calling..’

Nami menatap Iljung sekilas, lalu dengan sigap langsung mengangkat telepon dari Go Hansung; orang yang menjadi beban pikirannya sedaritadi.

“Yeoboseyo? Hansung-ah, ada apa? Oh? Sekarang? Baiklah, aku segera ke sana.” Tatapannya beralih pada Iljung (lagi), meminta waktu untuk bertemu dengan Hansung di luar cafe.

Belum sempat Nami berbicara, Iljung langsung menimpali. “Jja— pergilah, mumpung hyungku belum datang. Palli—“

Dengan senyuman lebarnya, Nami berjalan cepat keluar dari cafe setelah berterimakasih pada adik Yoojung.

...

“Ada apa?” Tanyanya singkat begitu sampai di taman yang letaknya tidak jauh dari cafe tempatnya bekerja. “Ada sesuatu yang mengganggumu? Atau ini ada hubungannya dengan Nara?”

Hansung menghela napasnya berat, terlihat sekali ada sesuatu yang tidak beres di sana. “Noona mengenal pria itu?”

“Nugu? Siapa pria yang kau maksud?”

“Han Minseok. Pria yang duduk di meja dengan senyum jahat itu.” Jawab Hansung tanpa menatap Nami yang tengah kebingungan.

“Minseok? A-aku tidak begitu mengenalnya, tapi aku tahu kalau dia bekerja di Hanshin Hospital dan sering mampir ke cafe setiap pagi.”

“Mwo?? Apa noona bilang?? Dia bekerja di Hanshin?”

Nami memotong jarak di antara mereka, “Ssst— jangan keras-keras bicaranya— Memangnya ada apa? Kau mengenalnya?”

“Begitu ya— uhm sebaiknya aku pergi sekarang, karena ada seseorang yang memanggilmu dari jauh. Sepertinya dia mencarimu daritadi, noona. Annyeong!” Hansung membenarkan posisi snapback yang dikenakannya, kemudian berjalan menjauh dari Nami.

“Yaaa! Mau kemana? Yaa!”

“Nami-ssi?” Suara yang sangat Nami kenal baru saja memanggilnya; Jooyoung.

“Astaga— Kau lagi. Aku tidak ada waktu, sampai jumpa.”

Belum sempat Nami melangkahkan kakinya pergi, tangan Jooyoung langsung menahan Nami. Pria itu menarik lengan Nami tanpa berpikir dua kali. “Tunggu—“

Nami melepas paksa pergelangan tangannya yang dipegang erat oleh Jooyoung, ia pun berbalik menghadap sang pria. “Mwo? Apa kau mau merendahkanku lagi? Di depan semua orang? Maaf, aku tidak punya waktu untuk itu, Jooyoung-ssi.”

“Jeongmal mianhae, atas kejadian waktu itu. Emosiku sedang tidak baik, aku memiliki banyak masalah di Hanshin. Jadi, maafkan aku.”

Nami mengangkat salah satu sudut bibirnya samar, “Apa ini salah satu leluconmu? Aku tahu, kau adalah orang kaya. Aku juga tahu, kau adalah pewaris tunggal Hanshin. Tapi apa dengan begitu, kau bisa menginjak harga diri orang lain seenaknya? Tidak, Jooyoung-ssi.”

“Mian. Aku tahu aku salah waktu itu, seharusnya aku tidak menghina dirimu. Dan aku menyesal, karena sejak itu—“ Jooyoung menjeda ucapannya, menelan salivanya sebelum melanjutkan.

“— aku mulai menyukaimu, Nami-ssi.”

GLEK. ‘Apa itu barusan? Pernyataan cinta? Hah— sadar Nami sadar! Pria itu hanya sedang berakting! Lagipula aku sama sekali tidak menyukainya, bahkan aku membencinya. Sangat membencinya.‘

Nami terdiam, segala perkataannya seakan menyangkut di tenggorokkan dan memilih berputar di otaknya saja. “Mian, banyak hal yang harus aku kerjakan.” Sahutnya pelan, ia pun meninggalkan Jooyoung yang masih membeku di posisinya.

Jooyoung dan Nami tidak tahu, ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Sepasang mata hangat namun tajam telah menatap mereka dari balik pohon, sementara sepasang lainnya sedang bersandar santai di balik dinding.

...

“Oh? Minseok-ssi? Sudah ada yang membawakan pesananmu?”

Pria yang sekarang sudah duduk di meja paling pojok; menggeleng pelan. “Uhm, belum. Aku juga baru datang.”

Nami menghampiri meja itu dan tersenyum tipis, “Vanilla milk dengan caramel, tanpa gula. Benar?”Wajah tampan itu mengulas senyum dan mengangguk pada Nami. “Baiklah, tunggu sebentar.” Sahut Nami yang juga mengulas senyum lebarnya; sangat berbeda pada saat berbicara dengan Jooyoung sebelumnya.

Dua pribadi yang sangat berbeda, seperti kopi dan susu yang menjadi kesukaan masing-masing dari mereka. Hitam dan putih. Pahit dan manis. Gelap dan terang. Sangat mencerminkan kepribadian mereka, yah— walaupun gadis itu belum mengetahui innermereka sebenarnya. Mungkin bisa saja beberapa karakter kopi dan susu yang tadi disebutkan adalah berbeda dengan karakter dua manusia yang menarik perhatiannya ini, siapa yang tahu?

**

“Kajja— aku akan mentraktir makan siang untuk kalian!” Seru Jooyoung pada tiga orang pasukan yang ia bawa ke cafe ini; Kyuyoung, Minseok, dan juga adiknya sendiri— Ahyoung.

“Yaa— berhenti menatapku seperti itu Lee Kyuyoung-ssi!” Ahyoung memutar bolamatanya malas, “Aku tahu aku cantik, tapi tolong jaga sikapmu. Jangan kekanakan begitu, heish—“

Mereka pun memasuki cafe yang ramai seperti biasanya.

‘Mereka.. saling mengenal? Pria yang menyatakan cinta pada Nami noona itu— dan Han Minseok saling mengenal?’Hansung terkekeh pelan, dirinya yang berada di luar cafe sedang menatap empat orang di satu meja. Dimana terdapat satu orang yang ia cari.

“Aku keluar sebentar, lima menit. Samakan pesananku dengan kalian saja, nde?” Ucap Minseok pada tiga orang lainnya.

“Yaa— eoddiga?”

Minseok hanya tersenyum tipis pada mereka, kemudian melanjutkan langkahnya keluar cafe. Tanpa ragu ia mendekat ke arah Hansung. Ya, Minseok melihat Go Hansung sedaritadi, dan ia tidak ragu untuk menghampirinya.

“Ekhem, bagaimana kabarmu Hansung-ah?”

Yang diajak bicara terperanjat kaget begitu mendapati Minseok sudah berada di sampingnya, “Hyung—“

“Kau mencariku?”

Hansung menghembuskan napas kasar, “Hah— untuk apa aku mencarimu? Kau adalah beban, orang yang membawa pengaruh buruk yang pernah aku temui, dan kau adalah penghancur hidup orang lain!”

“Hansung-ah, tidak baik menyimpan dendam. Lebih baik kau masuk ke dalam, aku akan mentraktirmu. Kajja—“

Hansung berdecih malas, “Jauhi Nami noona, hanya itu yang ingin ku katakan padamu. Jangan menipunya dengan parasmu itu, hyung.”

“Kang Nami? Kami hanya teman, dan— dari mana kau tahu gadis itu? Kau mengenalinya?” Minseok bertanya pada Hansung, tentu saja ia tidak mengetahui hal ini. Ia tidak mengetahui bahwa ternyata Hansung mengenal sosok Nami, dan sebaliknya.

“Sudahlah, intinya— jauhi dia! Mudah memang membuat gadis-gadis tertarik padamu, tapi tidak untuk Nami noona. Cukup aku saja yang kau hancurkan. Ini peringatan pertama, jika kau masih mendekatinya— aku tidak akan tinggal diam. Aku pergi.”

Minseok menatap heran Hansung yang mulai menjauh, ‘Apa hubungannya kau dengan Nami, Hansung-ah..’

“Minseok-ssi, sedang apa di luar?” Tanya Nami yang tiba-tiba menghampiri Minseok yang masih berdiri di dekat pintu masuk cafe.

“Eoh? Nami-ssi.. Aniya, ada rekan kerjaku yang menemuiku tadi. Kenapa repot-repot memanggilku? Heish— pasti kerjaan mereka.” Minseok berdecak kesal, “Yaa— memangnya aku anak kecil?!“

Nami tertawa geli, “Mungkin mereka menganggapmu begitu? Pfft— Kenapa tidak mengajak rekan kerjamu makan bersama? Apa dia tidak dekat denganmu?”

‘Rekan kerja ya? Jadi Go Hansung kau anggap rekan kerjamu, Minseok-ssi? Sebenarnya ada apa di antara kalian?’

**

Hening. Hanya suara jangkrik dan semilir angin yang menyapu bulu-bulu halus di kulitnya. Tubuhnya ia biarkan bertumpu pada lengan yang terlipat di pegangan jembatan yang terbuat dari kayu. Yah, begitu banyak hal-hal yang mengganggu pikirannya selama ini, juga perasaannya. Tunggu— perasaan? Apa ada masalah dengan perasaan Nami?

Ia mengacak-acak rambutnya; gemas sendiri. “Mwoyaaaa—! Huh!”

Semakin hari kedua pria itu membuatnya semakin bingung, mulai dari Ahn Jooyoung. Seorang pria sombong nan menyebalkan belum lama ini menyatakan perasaannya pada Nami, siapa yang tidak terkejut dengan hal itu? Tapi entah mengapa Nami mulai memikirkannya, sikapnya perlahan berubah menjadi sosok yang menyenangkan; namun tetap menyebalkan. Bahkan Nami sudah bisa merasakan kerinduan apabila Jooyoung tidak datang ke cafe dan menyapanya.

“Americano.. Aku tahu itu kesukaanmu, Jooyoung-ssi.”

Di sisi lain, ada sesosok pria lain yang menjadi idamannya. Dia adalah Han Minseok. Pria ramah nan hangat, seakan Minseok adalah magnet bagi diri Nami untuk selalu mendekatinya dimanapun ia berada.

“Vanilla milk with caramell and less sugar.. Itu untukmu, Minseok-ssi.”

‘Yaaaa—! Kang Nami, sadarlah! Mereka berdua sama. Sama-sama seorang pria kaya yang memiliki tanggung jawab besar memegang Hanshin. Sama-sama pria kaya yang berotak cerdas. Lalu kau apa? Hanya seorang wanita yang masih berusaha mencari pekerjaan yang layak, tanpa kelebihan dan tanpa orangtua.’

‘Molla, entah apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku hanya bisa mengikuti arah angin kemanapun perginya.’

“Annyeong, Nami-ssi.”

Suara itu lagi, senyum itu lagi, tatapan hangat itu lagi. “A-Ah, annyeonghaseyo. Kenapa bisa ada di sini? Bukannya jadwal kerjamu sudah lewat?” Ujar Nami setengah terbata.

“Taman ini selalu terlihat dari atas sana, begitu pula dirimu.”

Nami mengikuti arah jemari Minseok yang tengah menunjuk sesuatu di atas gedung Hanshin, “Rooftop? Heish— kau ini bicara apa? Mana mungkin aku bisa terlihat dari jarak sejauh itu.”

Minseok terkekeh, “Tidak percaya?”

“Tidak sama sekali.” Nami menggelengkan kepalanya dengan tempo yang tidak cepat.

“Kalau begitu, ikut aku.” Tanpa aba-aba, Minseok menarik tangan Nami. Membawanya masuk ke sebuah bangunan rumah sakit, dengan menggunakan lift Minseok mengajak Nami untuk naik ke lantai paling atas; rooftop.

Sang gadis hanya bisa diam, tidak berani mengucapkan sepatah katapun pada pria itu. ‘Apa yang akan dia lakukan? Mau apa ia mengajakku ke rooftop? Astaga—‘

“Daebak—“ Hanya kata itu yang terlontar dari mulutnya, bagaimana tidak? Di hadapannya kini sudah tersaji ribuan bintang dan pemandangan kota Seoul yang sangat indah. “Apa ini mimpi?” Gumamnya sambil terus berjalan perlahan menghampiri pembatas.

Minseok tersenyum mendengar gumaman sang gadis, “Coba saja lihat, taman itu terlihat dari atas sini.”

“Nde, sangat terlihat. Dan aku berdiri di sana! Jembatan kecil itu! Eh, tapi— tanpa teleskop kau tidak akan bisa melihatku berdiri di sana bukan? Bahkan sekarang aku tidak dapat melihat orang-orang yang ada di taman itu.” Sanggah Nami.

Minseok lagi-lagi tersenyum, kali ini lebih lebar. “Memang.” Sahutnya singkat.

“Lalu?” Nami menatap Minseok dengan mata bulatnya.

“Dasar kau ini—“ Dengan gemasnya Minseok mengusak surai hitam Nami, lalu merangkulnya tanpa ragu. “Apa kau benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataanku?”

Wajah polos Nami mengucapkan segalanya bahwa Nami benar-benar tidak mengerti apa yang Minseok katakan mengenai dirinya.

“Itu karena kau selalu berputar di pikiranku, jangankan di sini. Di dalam ruangan operasi pun aku bisa melihat dirimu, Nami-ssi.”

‘Apa itu barusan? Pernyataan cinta lagi? Dari orang yang berbeda? Oh Tuhan— tolong aku.’Bibirnya bergerak, berusaha mengeluarkan beberapa kata. “Aku tidak mengerti.” Jantungnya mulai berdegup kencang, ‘Aku salah bicara, astaga— kenapa aku mengeluarkan kalimat bodoh itu. Paboyaaa!’

“Jinjjayo? Kau masih belum mengerti juga? Heish—“ Minseok mengusap tengkuknya; sedikit canggung. Pria itu pun berdehem, menghadapkan dirinya ke arah Nami yang tengah menatapnya bingung. Kedua tangannya meraih tangan milik gadis berpipi tembam itu, menggenggamnya penuh kehangatan.

“Naega— dangshineul johahamnida.”

Atensinya menangkap ekspresi serius milik Minseok, tidak percaya bahwa tangannya tengah digenggam sang adam dengan eratnya.

“Kenapa? Apa aku terlalu cepat mengatakan semua ini padamu? Oh astaga, benar saja. Aku pun sebenarnya tidak ingin mengatakannya sekarang. Tapi— entahlah, aku tidak dapat menyembunyikannya lagi darimu.”

Nami melepaskan genggaman hangat itu, dan menyambutnya dengan senyum tipis. “Mianhae, aku bukan tidak menyukaimu. Aku butuh sedikit waktu untuk memikirkannya.”

Minseok balas tersenyum, “Ah begitu, aku rasa kau benar. Kau membutuhkan waktu— untuk memilih. Bukan begitu?”

“Nde?” Nami terkejut atas pernyataan dan pertanyaan retoris yang dilontarkan Minseok, ‘Bagaimana dia tahu soal Jooyoung? Aku sama sekali tidak pernah mengatakan hal itu pada siapapun.’

“Bagaimana aku tahu? Pasti itu yang ada di pikiranmu sekarang.” Minseok terkekeh pelan, menunjukkan seringai kecilnya. “Tidak masalah, aku akan menunggu. Berapa lama pun itu.”

‘Apa ada seseorang yang memberitahunya soal ini? Atau saat itu dia melihat aku dan Jooyoung?’

Terkadang memang mata tidak dapat dipercaya, tapi siapa sangka ini semua akan terjadi? Dua orang pria yang berbeda menyukai satu wanita. Jooyoung menghembuskan napas kasar, menendang dinding dengan keras setelah kedua insan tadi pergi dari penglihatannya. Ingin sekali ia meluapkan seluruh emosinya sekarang juga di depan Minseok, namun apa daya? Apa haknya untuk marah pada Minseok? Toh, memang sikapnya jauh lebih baik dibanding dirinya. Tapi apa salahnya juga orang seperti Jooyoung menyukai gadis seperti Nami? Tuhan pun tidak melarang, bukan?

**

Pagi yang cerah pun terasa redup di mata sang adam yang kini sedang bersimpuh di ruang kerjanya, Jooyoung menyesap kopi yang tersaji di atas meja dengan hikmat sampai suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.

“Masuk—“

“Annyeonghaseyo,” Seorang pria yang tak lain adalah.. “Go Hansung imnida.”

“Nuguseyo? Apa ada sesuatu yang membuatmu datang ke sini? Karena sejujurnya aku tidak mengenalmu.” Jooyoung menatap Hansung bingung.

“Nde, aku hanya ingin berbicara empat mata denganmu Jooyoung hyung-nim.” Jawabnya disertai dengan senyum tipis, sangat tipis sampai hampir tidak terlihat. “Masalah pribadi.” Imbuhnya kemudian.

“Masalah pribadi? Tapi aku sama sekali tidak mengenalmu, begitu pun sebaliknya. Jadi, masalah apa yang kau maksud?” Jooyoung terlihat semakin bingung dengan segala perkataan Hansung yang ditujukan padanya.

“Boleh aku duduk?” Tanyanya meminta izin. Melihat pria di balik meja kerjanya mengangguk sekilas, Hansung pun langsung mendudukkan diri di hadapan Jooyoung; tidak ingin membuang waktu.

Hansung berdehem, “Hyung-nim mengenal Kang Nami bukan? Apa dia sudah menerima cintamu waktu itu?”

“M-Mwo? Aku tidak memintanya untuk menerima— yaa! Bagaimana kau tahu soal itu?” Jooyoung mendelik tajam ke arah Hansung, terkejut atas pertanyaan-pertanyaan retoris yang dilontarkan.

“Ah, iya maaf. Waktu itu kau hanya menyatakan perasaanmu saja padanya, dan tidak memaksa Nami noona menerima cintamu. Kali ini aku benar ‘kan?” Hansung mengangguk-angguk sendiri. “Satu lagi, pasti sekarang kau sedang kesal karena ada orang lain yang melangkah lebih jauh darimu namanya— uhm, Han Minseok.” Ia mengeja nama -Han Minseok- dengan penuh penekanan.

“Yaa—“

Hansung  berdiri dari kursinya, membungkuk sambil memperkenalkan kembali dirinya sendiri agar Jooyoung cepat menangkap maksudnya. “Go Hansung imnida, pacar dari Kang Nara yang merupakan adik dari Kang Nami. Tambahan, aku juga tidak menyukai pria bernama Han Minseok apalagi melihatnya pacaran dengan calon kakak iparku.” Jelas Hansung dengan ekspresi serius, ia pun kembali duduk di tempatnya.

Jooyoung menelan salivanya, ‘Aku paham sekarang.’

“Kita bicara di luar.” Ucapnya singkat dan langsung berjalan ke luar ruangan dengan gesture yang menjadi ciri khasnya.

Hansung terdiam, ia hanya bisa mengangguk dan mengekori sang pria menuju salah satu tempat yang jarang diketahui penduduk kota Seoul. Yah— yang jelas bukan cafe di mana Nami bekerja.

“Jadi, apa misimu sekarang?” Jooyoung memasukkan sebelah tangannya ke saku celana seraya bersandar di dinding, atensinya menatap Hansung; menunggu respon.

“Eung—“ Hansung melihat ke sekeliling, “Menyingkirkan Minseok. Kau— dan aku— bisa bekerja sama bukan? Dengan begitu akan lebih mudah memisahkan Minseok dengan Nami noona.”

“Caranya? Asal kau tahu, Minseok bukan orang sembarangan. Einstein pun rasanya akan kalah jika dibandingkan dengannya.”

Hansung menghela napasnya, berusaha bersabar kala Jooyoung melontarkan kalimat yang entah disebut pujian atau apa. Hansung benar-benar sudah muak mendengar ucapan itu. “Heish— masa bodo dia itu Einstein atau bukan, aku tidak peduli. Sekarang yang terpenting adalah menyingkirkannya. Aku tidak meminta kau untuk mendeskripsikan Minseok, hyung-nim.” Jelasnya panjang lebar, terdengar nada kesal luar biasa di dalamnya.

Jooyoung terkekeh pelan, “Wah wah, sepertinya dendammu pada Minseok sudah tertanam sejak kecil ya?”

“Kau benar, dia sudah menghancurkan hidup dan mimpi seseorang.” Jawabnya dengan penekanan di setiap katanya.

“Arra arra, jadi bagaimana kita bisa membuat Minseok menjauh dari Nami?” Tanyanya ulang.

Minseok menggeleng pelan, “Mungkin kata menderita lebih cocok untuknya. Ada satu cara—“Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Jooyoung, “— pecat dia.”

“Mwo? Astaga itu mustahil, apa harus sekejam itu? Aku tahu, aku yang bertanggung jawab atas Hanshin. Tapi tentu saja aku tidak bisa sembarangan menyuruh pamanku untuk memecat pegawai, bisa-bisa Hanshin dituntut setelah itu.”

Hansung berdecak kesal, “Biar aku yang mengaturnya, di kepalaku sudah banyak sekali ide untuk menghancurkan Minseok.”

“Kau menyeramkan, sungguh.” Gumam Jooyoung.

**

Waktu berlalu begitu cepat, jarak antara Minseok dan Nami pun semakin dekat namun masih sebatas sahabat; tidak lebih. Nami lebih nyaman menjadikan Minseok sebagai sahabat karib dibandingkan pacar, yah— untuk saat ini begitu. Di sisi lain perasaannya terus menunjukkan tanda-tanda aneh bila dekat dengan Minseok, entah apa artinya ia pun tidak mengetahuinya.

Lain lagi dengan Jooyoung. Nami menganggap pria itu sama seperti saat pertama kali mereka bertemu, namun bisa dikatakan lebih dekat ‘sedikit’ dengannya. Tentu saja hal itu membuat Jooyoung dan ‘calon adik ipar’ Nami berani bertindak lebih demi menyingkirkan Han Minseok.

“MWO?” Minseok menutup mulut Nami dengan cepat menggunakan tangan besarnya, menghindari adanya pembicaraan antar pengunjung cafe.
               
“Tidak usah berteriak, paboya—“ Sang gadis perlahan melepaskan tangkupan tangan Minseok, mengerjapkan matanya sebelum akhirnya berbicara.

“Mianhae— tapi, kau serius? Dipecat dari Hanshin? Kenapa? Kau menghilangkan nyawa orang lain saat operasi?” Rentetan pertanyaan diajukan pada sang pria; meminta penjelasan.
               
“Nde, pintar sekali kau Nami-ya.” Ujarnya santai, namun sesungguhnya di balik keputusan kepala Hanshin Hospital, Minseok merasa ada seseorang yang menghancurkan karirnya.

“Minseok-ah.. Aku yakin ini salah paham, pasti bukan itu penyebabnya. Karena— kau sudah bertahun-tahun menjadi dokter ahli bedah, bahkan namamu sudah tersebarluas ke seluruh negara.”

Minseok tersenyum, “Aku bisa mengatasinya, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku pikir seseorang sedang mencoba menghancurkan karirku sekarang.”

Kedua manik kembar Nami membulat sempurna, “A-apa? Tapi siapa? Kau sudah tahu siapa orangnya? Mana mungkin ada orang setega itu?”

“Ada, tentu saja ada.” Sahut Minseok ringan, ia akan coba menyelidikinya dan mencari bukti sebanyak mungkin.

“Aku akan membantumu, nde?” Nami mengulas senyum, berniat untuk menghibur Minseok yang sepertinya sudah kesal setengah mati.

**

Beberapa hari kemudian..

Rencana berjalan mulus, mereka berdua sangat tidak menduga bahwa Minseok sangat mudah dikalahkan. Tawa kedua insan tersebut kini pecah, hampir satu liter alkohol masuk ke dalam lambung masing-masing dari mereka. Bisa ditebak di mana mereka sekarang; Ya— Jooyoung dan Hansung sedang bersenang-senang merayakan keberhasilan rencana mereka.

‘Pasti kau biangnya! Aku tahu kau membenci Minseok, tapi aku tidak tahu kau akan setega ini padanya. Oh ayolah semoga saja dugaanku salah, semoga saja kecurigaanku ini tidak benar.’

Dikeluarkannya benda pipih yang sedaritadi bersemayam di saku mantelnya, mengetikkan sesuatu kepada Hansung.

-Eoddiya? Nara mencarimu daritadi. Ini hari libur, apa kau tidak ingin mengajaknya jalan-jalan?-
SEND

Nami berdecak kesal, tidak ada respon. Terpaksa ia menghubunginya langsung, seorang Nami tidak akan rela membuang waktunya sedikitpun. Dicarinya kontak Hansung, lalu menekan ikon Call di layar menggunakan telunjuknya.

“Yoboseyo? Yoboseyo, Hansung-ah?”

‘Hahahaha, kau sangat pintar Go Hansung...!’
‘Aigoo hyung-nim, ini semua juga berkat bantuanmu hingga aku bisa menghancurkan hidup Jooyoung yang sok kaya itu.’

“Ndee noona? Ada apa menghubungiku?” Tanya Hansung dari seberang sana.

Nami terdiam, mengeratkan pegangannya pada ponsel seraya menggigit bibirnya. ‘Jooyoung-ah.. Kau kah itu..?’ Sontak ibu jarinya bergerak mengakhiri panggilan.

Lututnya bergetar, kakinya melangkah cepat menuju suatu bar kecil yang sering dikunjungi Nami dan Hansung ketika pikirannya sedang kacau.

‘Benar.. Itu suara Jooyoung, Ahn Jooyoung yang pernah menyatakan perasaannya padaku.’ Nami menelan salivanya, tungkainya terus melangkah lebar. ‘Sudah kuduga, mereka saling mengenal. Tapi sejak kapan? Bagaimana bisa Hansung merahasiakan ini darinya?’

...

“Hebat.. Hebat.. Kau memang hebat Hansung-ah!”

Suara khas Jooyoung terdengar dari pintu masuk bar, mereka berdua sudah benar-benar mabuk. Perlahan Nami menghampiri meja mereka, wajahnya sudah memerah karena kesal.

PLAK!!!

Sebuah tamparan mendarat tepat pada sasaran, bukan pada Jooyoung— melainkan Hansung. Kesabarannya sudah habis, seorang Go Hansung yang dikenalnya sudah berubah. Bagaimana bisa Nara memilih lelaki pendendam seperti ini, eh?

“Noona— apa yang kau lakukan? Kau menamparku?” Hansung mendongak menatap Nami dengan tatapan khas orang mabuk, seraya memegangi pipinya sendiri.

“Nami-ssi?” Dugaannya salah, Jooyoung tidak sepenuhnya mabuk. Dengan cepat pria bermata sipit itu kini berdiri, memegang pergelangan tangan Nami yang mengepal.

“Kenapa—? Kenapa kalian melakukan ini padanya?” Tanya Nami dengan nada bergetar, menatap Hansung yang mabuk berat dengan tatapan mengintimidasi. Mungkin Hansung tidak merasakan itu sekarang.
               
“Noona-ya, duduklah dulu. Memangnya apa yang kami lakukan? Aku dan hyung-nim hanya bersenang-senang, kok.”

Nami menoleh ke arah Jooyoung, “Apa yang kalian lakukan—” Ia mengulangi kalimat pertanyaan yang sebelumnya diajukan oleh Hansung. “—sangat keterlaluan. Kalian tahu? Kalian sudah menghancurkan hidup tiga orang di sini. Ya, tiga.”

Jooyoung mengeratkan genggaman tangannya pada pergelangan Nami, berharap gadis itu memberinya waktu untuk menjelaskan.“Han Minseok.. Dan diri kalian sendiri.” Imbuh Nami kemudian.

“Ya— noona, kau sudah tahu mengenai masa laluku dengannya. Dan kau masih menyalahkanku? Siapa yang lebih dulu menghancurkan siapa? Aku yang menjadi korban pertamanya! Dan setelah itu— adalah noona— yang akan jadi korbannya!” Hansung berdecak, “Heish, masih tidak mengerti?”

Nami menghempaskan tangannya yang genggam oleh Jooyoung, bersiap mendaratkan telapak tangannya lagi di pipi Hansung untuk yang kedua kalinya.

“Nami-ya! Dengarkan aku—!” Sebuah tangan besar menghalangi aksinya, Jooyoung berhasil menahan tangannya yang sudah berjarak sedikitnya sepuluh senti dari wajah Hansung.

“Dia hanya ingin melindungimu. Termasuk aku.”

Nami terkekeh; terdapat senyum meremehkan di sana, sungguh ia tidak mengerti apa yang terjadi di sini. “Naega?”

Jooyoung melepaskan tangan Nami, “Aku tidak ingin kau terperangkap dalam jebakannya. Dia tidak pantas bersamamu. Aku ingin dia menjauh darimu— begitu pula sebaliknya.”

Bulir airmata milik Nami berhasil turun melewati kedua pipinya, amarah tengah menguasai dirinya. “Memangnya siapa yang menilai dia pantas untukku atau tidak? Kau yang terlalu kekanakan, Jooyoung-ssi.” Ujarnya pelan namun menusuk, tanpa sedikitpun berteriak.

Maniknya beralih pada Hansung yang entah masih sadar atau tidak, “Kalau begitu, sekarang aku bisa menilai bahwa kau— Go Hansung tidak pantas berada di samping adikku.” Ucapnya dengan sedikit membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada Hansung.

“—aku pergi.” Nami membalikkan badannya, meninggalkan kedua pemuda itu tanpa berpikir panjang.

Keadaan jalan yang sunyi, angin malam yang berhembus seakan mengetahui perasaan kecewa yang ada di benaknya. Beberapa kalimat yang Jooyoung katakan membuatnya berpikir panjang selama di perjalanan pulang.

‘Aku akan membuatnya bekerja kembali di Hanshin, dengan syarat kau harus menjauhi Minseok. Hanya itu, mudah kan?’

“Otteokaji...? Seakan masalah ini timbul karena ada aku di dalamnya, seakan aku lah penyebabnya!” Nami mengacak-acak rambutnya. “Aku benar-benar gila sekarang—“

“Eoh? Nami?”

Kepalanya benar-benar pusing sekarang, sampai ia merasa kalau suara yang menyapanya itu tidaklah nyata.

“Nami-ssi?”

‘Tidak, itu nyata!’ Sontak Nami berhenti, mendapati sesosok Minseok berdiri di hadapannya. “Ah, nde. Annyeonghaseyo—“

“Yaa— Apakah ada sesuatu mengganggu pikiranmu sampai wajahmu memerah seperti itu?”

Spontan ia menutupi sebagian wajahnya dengan sweater full-neck yang dipakainya, “Aniya! Aku— pulang dulu, Nara pasti mencariku.” Ujarnya seraya membungkuk untuk yang terakhir kalinya. Entah malam ini benar-benar yang terakhir atau tidak.

**

Pagi hari yang cerah, mungkin ini terakhir kalinya ia menghirup udara pagi di dalam Cafe tempatnya bekerja. Yah— mungkin ini terakhir kalinya ia menikmati senyum para pengunjung cafe yang puas karena pelayanan yang diberikan Nami. Juga terakhir kalinya Nami membuatkan secangkir Americano dan secangkir Vanilla Milk untuk dua pria itu.

“Ini untukmu, Minseok-ssi. Dan ini untukmu, Jooyoung-ssi.” Nami mengulas sebuah senyuman di wajahnya, seakan ia menganggap kejadian semalam tidak benar-benar terjadi. Dan itu sangatlah membuat Jooyoung resah.

“Nami-ssi, aku ada kejutan untukmu. Berkat dirimu, aku tidak jadi dipecat— bahkan jabatanku dinaikkan sekarang.” Ujar Minseok senang, sementara teman di sebelahnya hanya tersenyum kecil; sedikit melirik ke arah Nami. Ingin tahu bagaimana reaksinya setelah mendengar kabar ini.

“A-Ah.. Jinjja? Syukurlah kalau begitu, aku ikut senang mendengarnya!” Nami tersenyum lebar. “Chukkae, Minseok-ssi. Dengan begitu aku tidak perlu khawatir lagi.”

“Kau memang tidak bersalah, ini hanya kesalahpahaman bukan?” Jooyoung tertawa pelan sebelum menyesap kopi favoritnya.

Tangan Minseok terulur; mengacak rambut Nami sekilas, tidak peduli ada Jooyoung di sana. Toh, memang tidak ada hubungan spesial di antara mereka bukan? Walaupun Minseok masih menginginkan hal itu, sih.

...

“Aku minta maaf.“ Nami menyodorkan sebuah surat pernyataan pada Park Yoojung, di sana juga ada sang istri— Lee Yeojin dan sang adik— Park Iljung yang berada satu ruangan dengannya.

“Apa ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman di sini?” Tanya Yeojin pada Nami.

Yang ditanya menggeleng pelan, “Ani— aku hanya ingin membuka usaha sendiri. Aku sudah menyusun rencanaku, dan setelah dihitung-hitung tabunganku sudah cukup untuk memulai itu semua.”

Yoojung mengangguk, “Baiklah kalau itu keinginanmu, semoga usahamu berjalan lancar— dan ini tambahan untukmu. Karena aku pikir Nami-ssi sudah sangat lama bekerja dengan kami, Nami-ssi juga sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.”

“Nde, aku jadi sedih Nami-ssi mau pergi dari sini.” Iljung menimpali, memasang ekspresi yang benar-benar sedih karena kehilangan seseorang.

“Ah.. Kamsahamnida, aku akan bekerja lebih keras lagi. Aku juga akan berkunjung ke sini jika ada kesempatan. Kamsahamnida.” Nami tersenyum tipis.

...

“Aku titip surat ini untuk Jooyoung, boleh? Dan ini untuk Minseok.” Bisik Nami pada Iljung. “Tolong ya, oppa. Terimakasih sebelumnya, aku pergi dulu! Annyeonghaseyo—“

Sang gadis menoleh ke sana sini sebelum akhirnya memilih untuk mempercepat kepergiannya, lambaian tangan sekilas pada Iljung mengakhiri kisahnya bekerja di cafe ini. Entahlah, apa ini keputusan terbaik dari yang terbaik. Nami pun hanya bisa bernapas lega, setidaknya beban mereka berkurang dengan tidak adanya sosok Nami.

**

Teruntuk: Ahn Jooyoung

Aku tahu— aku merupakan sumber dari masalah kalian berdua, maaf bila aku terlalu banyak berbicara dan bertingkah. Seperti katamu, aku akan menjauh dari kehidupan Minseok— dan juga dirimu. Aku tidak ingin menghancurkan pertemanan kalian, karena itu aku memilih untuk meninggalkan Seoul hari ini.

Dan terima kasih sudah memberikan hak kerja itu lagi pada Minseok, aku harap kau dan Minseok berbahagia selalu.

Tertanda,
Kang Nami

Teruntuk: Han Minseok

Aku minta maaf tidak memberitahumu soal ini, aku berencana membuka usaha sendiri setelah meninggalkan pekerjaanku. Maaf juga karena aku tidak bisa membalas perasaanmu, aku hanya bisa menerimamu sebagai sahabat. Aku harap kau mengerti.

Tetapi sekali lagi maaf, aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku mungkin tidak akan kembali lagi ke Seoul, dan tidak akan bertemu lagi dengan kalian berdua. Aku hanya berharap, kau bisa menjaga pertemanan dengan Jooyoung sampai kapanpun.

Terima kasih atas segalanya.

Tertanda,
Kang Nami

 






























**

Detik berjalan begitu cepat, sosok Nara yang telah tumbuh dewasa membuat dirinya mengerti bahwa ada sebuah pengorbanan harus dilakukan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Nami kini sudah memiliki usaha rumah makan yang tergolong besar, memiliki banyak pegawai yang setia bekerja dengannya. Sudah tiga tahun lebih Nara dan Nami memisahkan diri dari suasana kota Seoul, juga dari orang-orang yang pernah singgah dalam hidupnya.

“Eonni, apa kau tidak merindukan Minseok oppa dan Jooyoung oppa? Apa kau tidak penasaan bagaimana kabarnya?” Tanya Nara polos seraya menggerakkan penanya di atas kertas berwarna miliknya.

“Apa yang kau bicarakan, sih? Sudahlah lebih baik kerjakan tugasmu, setelah itu bantu eonni-mu ini menghitung pendapatan dan pengeluaran bulan ini.” Sahut Nami ringan, walau dalam benaknya terselip ribuan tanya bahkan jutaan mengenai dua pria yang tidak pernah ia temui lagi itu.

“Heish— iya iya.”

Siapa yang tahu kalau sebenarnya seorang Kang Nara yang cerdas itu masih berhubungan dengan kekasihnya di Seoul, ya— Nara masih sering bertukar informasi menggunakan surat ataupun aplikasi SMS dan sebagainya. Kekasih? Tentu saja, Hansung masih menyandang status sebagai kekasih tanpa Nami ketahui. Bahkan Nara sering bertemu dengan Hansung di suatu tempat hanya untuk menanyakan kabar satu sama lain.

Memang sempat terpikirkan oleh Nami, mulai dari ‘Bagaimana kabar mereka? Bagaimana keadaan cafe tanpa dirinya? Apa aku harus merindukan mereka? Bagaimana jika aku kembali, semuanya terjadi lagi seperti tiga tahun lalu?’ — Pertanyaan itu terus mengelilingi pikirannya tanpa diminta sekalipun, entah apa yang menjadi masalah kali ini.

Sampai pada akhirnya terbersit sebuah ide, siapa lagi kalau bukan idenya Nara dan Hansung? Mereka harus membuktikan pada Nami bahwa kedua pria Seoul yang sedang dipikirkannya itu sudah berubah 180 derajat.

“Nami eonni, besok ada waktu?” Nara tersenyum lebar, sementara sang kakak hanya bisa menatap Nara penuh tanya.


EPILOG

Kebahagiaan itu nyata, takdir itu penentu dari siapa menjadi siapa dan apa menjadi apa. Perbedaan bukanlah penghancur, justru dengan adanya perbedaan itulah seseorang dapat melengkapi seseorang lainnya. Hitam dan putih, pahit dan manis, gelap dan terang; semua itu hanyalah simbol yang tidak dapat diukur dengan nilai kepribadian seseorang. Semua itu tergantung perspektif, mana yang menurutnya benar dan mana yang menurutnya salah.

Tawa, canda, gembira, seakan berbaur menjadi satu. Nyatanya si penyuka kopi dapat mencicipi rasa manis dari susu, dan sebaliknya; si penyuka susu juga dapat mencicipi bagaimana rasa pahit dari kopi. Sekali lagi, semua itu tergantung perspektif. Bagaimana seseorang berpikir jernih dalam menyelesaikan suatu masalah.

Dan— cinta itu benar adanya, tetapi persahabatan lebih erat kaitannya dengan kehidupan. Terkadang seseorang harus melihat dari sudut pandang berbeda, tidak selalu melihat sisi negatif orang itu, melainkan sisi positif yang jarang dijadikan acuan dalam menjalin persahabatan.

*

“Yaaa— jadi selama tiga tahun ini kalian masih berpacaran? Aigooo adikku sudah pandai berakting rupanya, heish— kenapa aku bisa tidak tahu..?”

“Minseok-ah! Ayo kita taruhan siapa yang paling cepat menghabiskan ramyun ini, dia lah yang akan mencium pipi Nami.”

“Yaaaa! Aku tidak akan mau, dasar kalian! Hadiahnya makan siang gratis di sini saja ndeeeee.”

“Paboyaaa, jangan curang kau Jooyoung-ah! Aku tidak terima!”

“Eonni, benar kan— kau merindukan mereka?”



***

0 komentar:

Posting Komentar